Lihat ke Halaman Asli

Lantai Tiga Belas

Diperbarui: 24 November 2023   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada beberapa keyakinan, angka tiga belas merupakan angka pembawa sial. Oleh karena itu, beberapa gedung bertingkat tidak memiliki lantai tiga belas pada bangunannya. Tetapi bukan hanya angka tiga belas saja yang menjadi angka kesialan, bagi beberapa keyakinan, ada angka-angka lain yang mereka yakini mengandung unsur kesialan. Seperti halnya pada masyarakat keturunan Tiongkok, justru menjadikan angka empat sebagai angka kesialan bagi mereka. Hal tersebut dikarenakan angka empat memiliki pengucapan yang hampir mirip dengan kata kematian, oleh karena itu masyarakat Tiongkok sangat menghindari segala hal yang berhubungan dengan angka empat. Seperti membeli rumah atau memesan kamar hotel atau bahkan memilih nomor telepon, mereka sangat menghindari agar tidak menerima angka empat tersebut.

Lain halnya dengan masyarakat Jepang, mereka justru menjadikan angka tiga dan sembilan sebagai angka kesialan bagi mereka. Alasan mereka kurang lebih sama seperti masyarakat Tiongkok, yakni karena pengucapan angka tersebut terdengar mirip dengan arti penyiksaan atau penderitaan. Bahkan saat sedang berfoto sekali pun, jika yang ada di dalam foto berjumlah tiga orang, maka diyakini bahwa salah satu dari orang tersebut akan meninggal dunia tidak lama setelah foto tersebut diambil.

Pada kasus lainnya, terdapat dari masyarakat Italia, yang menganggap bahwa angka tujuh belas sebagai angka sial. Keyakinan akan kesialan angka tujuh belas bagi masyarakat Italia, sama buruknya dengan kepercayaan masyarakat Amerika yang meyakini bahwa angka tiga belas adalah angka keramat, bahkan beberapa diantaranya menyebut itu sebagai angka terkutuk. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Italia---kebanyakan, atau mungkin memang sebagian besarnya---masih menggunakan huruf Romawi dalam segala aspeknya. Jadi, saat mereka menulis angka tujuh belas maka akan berbentuk menjadi XVII, dan jika di-anagram-kan bisa berbunyi VIXI, yang mengandung arti 'aku sekarang mati' atau 'hidupku sudah berakhir'.

Dalam keyakinan di tempat ini---di tempatku bekerja---menerapkan angka tiga belaslah yang menjadi angka sial. Karena sang Manajer di sini merupakan keturunan Amerika, jadi dia menghapus lantai yang bertuliskan angka tiga belas dari tempat ini, dan menggantinya dengan angka 12A dan 12B. Entah kenapa saat sekarang ini justru lamunanku mengarah kepada hal-hal tersebut, tentang angka terkutuk dan hal-hal mistis di dalamnya. Mungkin karena aku teringat pada peristiwa yang terjadi di tempatku bekerja ini beberapa bulan yang lalu. Sebuah peristiwa yang cukup menggemparkan hampir setiap jantung yang ada di gedung ini. Yaitu, seorang wanita pegawai hotel bagian pelayanan kamar ditemukan tergeletak di dasar lobi dengan luka yang sangat serius dan hampir semua tulang yang menyangga tubuhnya yang ramping hancur tidak keruan. Diduga wanita tersebut melompat dari salah satu kamar tamu saat sedang membersihkan kamar tersebut yang berada di lantai empat belas dan langsung terjun meluncur ke aspal beton yang berada di bawahnya. Berdasarkan catatan dari petugas resepsionis, penghuni kamar tersebut sudah melakukan check out, pergi meninggalkan hotel ini pada pukul dua siang. Jadi sudah dipastikan kamar itu kosong saat wanita itu berada di kamar tersebut. Belum diketahui motif sesungguhnya dari kasus itu, tetapi dari apa yang dipublikasikan, hal tersebut disebabkan karena murni bunuh diri.

Media asing maupun media lokal menyoroti kasus itu dengan sangat gila, bahkan hampir membuat hotel---tempatku bekerja ini---hampir hibernasi karena media yang terlalu menusuk tajam tentang kenyamanan tempat ini. Banyak yang memberitakan bahwa sebelum si korban meninggal dengan cara mengenaskan seperti itu, dirinya sempat berhalusinasi tentang dirinya yang berada di lantai yang bernomorkan angka tiga belas. Aneh! Padahal hotel ini saja tidak menerapkan lantai dengan nomor tiga belas! Dari situlah banyak rumor dan tulisan-tulisan yang tidak koheren yang menulis tentang hotel ini serta banyak artikel-artikel dan pemberitaan yang menulis bahwa hotel ini adalah hotel angker, keramat, dan semacamnya. Karena media yang sangat menyoroti tentang hal itu, tidak sedikit para turis asing maupun lokal enggan untuk menghabiskan waktu mereka di hotel ini, yang menyebabkan pendapatan dari hotel ini menurun drastis.

Banyak karyawan yang akhirnya memutuskan untuk menandatangani ulang kontrak kerja mereka untuk beralih ke tempat baru, karena terlalu sepinya pengunjung di hotel ini. Dan bagi kami yang bertahan harus siap menghadapi kekurangan pada pembayaran gaji bulanan kami yang sangat dipengaruhi oleh jumlah kunjungan tamu yang datang untuk menginap di sini. Dan aku adalah salah satu dari orang yang bertahan itu. Tetapi untungnya walau bagaimanapun media membicarakan tentang hotel ini sedemikian rupa, manajemen di sini tidak menyerah untuk bisa bertahan dan terus memberikan servis yang terbaik yang bisa diberikan. Hingga akhirnya pendapatan kami saat ini bisa kembali stabil, dan tamu yang datang pun kembali seperti pada masa puncak kejayaannya. 

Hotel tempatku bekerja ini berada di sebelah selatan ibu kota Jakarta, gedungnya menjulang tinggi sejajar dengan gedung-gedung lain yang berbaris rapi di pinggir jalan, seakan sedang menyambut tamu kehormatan yang beralaskan aspal panas sebagai karpet merahnya, berbaris rapi menggiring para kuda besi melintasi jalan Jenderal Sudirman yang selalu padat. Hotel Grand Jakarta adalah salah satu hotel berbintang lima yang dicap sebagai salah satu hotel termewah yang berada di kawasan ibu kota. Sepertinya tidak perlu kujabarkan lebih jauh lagi tentang definisi mewah itu, karena semua hal tentang kemewahan yang bisa dipikirkan oleh pikiran seseorang, akan bisa kau dapati di hotel ini. Semuanya! Dan sebagai petugas pelayanan kamar, sudah menjadi salah satu tugasku untuk bisa memberikan itu semua kepada tamu yang ada di hotel ini.

Ini adalah hari ketiga aku bekerja pada sif malam, dan sebelumnya aku belum pernah mendapatkan kesempatan untuk bisa mencoba bekerja pada sif malam ini. Dari mulai tempat ini ramai pengunjung seperti pada hari biasa, hingga tempat ini sepi pengunjung karena adanya kasus bunuh diri itu, hingga tempat ini kembali ramai lagi, baru kali ini akhirnya aku bisa mendapatkan bagian sif malam ini. Sulit untuk beradaptasi pada awalnya, karena semua serba terbalik. Yang biasanya aku menggunakan waktuku untuk beraktivitas, kini harus dijadikan waktu untuk beristirahat. Begitu pun sebaliknya, waktu yang biasanya kugunakan untuk beristirahat, kini harus digunakan untuk bekerja. Bahkan pada hari pertama kemarin pun aku sempat merasa lebih lelah dari biasanya karena belum pernah merasakan pengalaman yang seperti itu sebelumnya. Tapi saat ini, kukira aku sudah mulai bisa mengimbanginya.

Seperti pada dua malam sebelumnya, malam ini begitu tenang dan sunyi, tidak terlalu banyak permintaan dari tamu hotel yang datang. Ya, karena memang pada dasarnya hotel ini termasuk ke dalam kategori hotel bisnis, jadi kebanyakan yang datang berkunjung pada hari kerja adalah mereka yang memang sedang melakukan kegiatan bisnis. Dengan kata lain, waktu istirahat mereka pun akan normal seperti pada kebanyakan orang. Lain halnya pada saat akhir pekan, atau hari-hari libur lainnya, banyak dari mereka yang menginap di sini membawa keluarga, kerabat atau pasangan mereka, jadi terkadang pada jam-jam seperti ini pun akan masih ada pesanan macam-macam dari mereka. Entah itu untuk memesan makanan, minuman, atau membersihkan kamar mereka, macam-macam! Tapi untungnya ini masih hari kamis---masih terhitung sebagai hari kerja---jadi tidak banyak pesanan yang macam-macam yang diminta oleh para tamu. Bahkan untuk petugas yang berjaga, tidak lebih dari lima orang saja.

Jam sudah menunjukkan pukul 23:57 Waktu Indonesia bagian Barat, dan kedua mataku masih segar seperti lampu jalanan yang menyoroti jalanan kosong dengan segenap kekuatannya. Karena memang baru saja aku menghabiskan kopi keduaku malam ini. Ya, akan kulakukan apa saja agar tetap menjaga kedua mataku ini agar tidak kalah oleh serangan kantuk yang datang dengan begitu dahsyatnya. Sambil mulutku mengunyah permen yang diberikan oleh pengunjung dari kamar nomor 1718 setelah dia memesan satu botol sampanye, aku membawa troli untuk kembali menuju ke pantri. Dia adalah Mr. Jaeger, seorang berkebangsaan Amerika Serikat yang sedang melakukan perjalanan bisnisnya di kota ini. Dia cukup ramah, bahkan tidak sedikit dirinya memberikan tip yang lumayan besar saat aku memberikan pelayanan kepada dirinya. Dan untuk malam ini, dia kembali memberikan sejumlah uang tip sebesar lima dolar dalam bentuk koin sen dan beberapa permen kopi yang dibawanya langsung dari Amerika. Dia bilang permen ini cukup manjur untuk melawan kantuk, dan ya, memang inilah yang kubutuhkan saat ini.

Sambil menunggu lift yang sedang berjalan naik ke lantai tujuh belas tempatku berada saat ini, aku mengambil sebuah koran yang tergeletak di atas sebuah troli dari salah satu petugas kebersihan yang sepertinya sedang membersihkan salah satu kamar tamu. Koran ini masih baru, karena tanggal dan hari terbitnya menunjukkan terbit pada hari Jumat. Aku mengambilnya dan membaca salah satu tajuk utama dari koran tersebut yang ditulis dengan huruf kapital yang besar. Tajuk utama itu berbunyi . . .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline