Media sosial akhir-akhir ini ramai dengan video yang memperlihatkan seorang pedagang es teh menjadi sasaran olok-olok oleh seorang tokoh agama ternama, Gus Miftah. Peristiwa ini memicu diskusi luas di kalangan masyarakat, menciptakan gelombang reaksi yang mencerminkan dinamika relasi kuasa dan kesadaran kolektif. Kontroversi ini bukan sekadar insiden viral, tetapi juga membuka ruang refleksi mendalam tentang bagaimana hierarki sosial beroperasi di ruang publik dan bagaimana masyarakat merespons ketidakadilan simbolik yang terjadi di depan mata mereka. Dalam sosiologi sastra, kisah ini menawarkan potret nyata tentang dominasi sosial dan bagaimana empati kolektif bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap ketimpangan tersebut.
Penjual es teh dalam isu ini merepresentasikan sosok yang kerap dijumpai dalam karya sastra realisme sosial seseorang yang berjuang di tengah ketidakadilan struktural. Ia menjadi simbol kaum lemah yang rentan terhadap eksploitasi dan olok-olok oleh mereka yang berada di posisi atas. Di sisi lain, sikap Gus Miftah menggambarkan bagaimana kuasa sering kali disalahgunakan dalam bentuk dominasi verbal. Olok-olok tersebut, meskipun mungkin diniatkan sebagai candaan, mencerminkan bagaimana ketidakseimbangan kekuasaan dapat merusak martabat seseorang.
Respons publik terhadap insiden ini menawarkan perspektif lain. Solidaritas yang muncul, terutama di media sosial, mencerminkan adanya kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga martabat manusia. Media sosial menjadi ruang di mana masyarakat dapat mengekspresikan ketidaksetujuan mereka, menciptakan tekanan moral yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada ketimpangan kuasa, masih ada ruang bagi masyarakat untuk membangun narasi tandingan narasi yang menekankan pentingnya empati dan penghormatan
Dalam perspektif sosiologi sastra, situasi ini menggambarkan bagaimana masyarakat memaknai peristiwa sosial dan menciptakan narasi solidaritas sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi. Jika diadaptasi ke dalam karya sastra, cerita ini bisa menjadi kritik tajam terhadap relasi kuasa dan perlakuan tidak adil yang masih marak di masyarakat. Di tengah hiruk-pikuk media sosial, kisah ini mengingatkan kita bahwa empati dan penghormatan terhadap sesama bukan sekadar nilai moral, melainkan fondasi penting dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Peristiwa viral terkait Gus Miftah yang mengolok-olok seorang penjual es teh telah menjadi topik hangat yang memicu berbagai reaksi di tengah masyarakat. Insiden tersebut bukan sekadar kejadian kontroversial, melainkan sebuah cermin yang menggambarkan dinamika relasi kuasa di Indonesia, mencerminkan bagaimana hierarki sosial dan dominasi simbolik masih kerap dimainkan di ruang publik, di mana pihak yang memiliki pengaruh cenderung memanfaatkan status mereka untuk membangun atau, dalam kasus ini, merendahkan individu dari kalangan marjinal.
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa relasi kuasa tidak selalu terlihat secara eksplisit. Terkadang, dominasi itu hadir dalam bentuk yang lebih halus, seperti kata-kata yang diucapkan dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, penting untuk terus membangun kesadaran kritis terhadap setiap bentuk interaksi sosial, terutama yang melibatkan pihak-pihak dengan kuasa yang tidak seimbang. Melalui sosiologi sastra, kita diajak untuk melihat lebih dalam, memahami bahwa di balik setiap cerita ada dinamika sosial yang kompleks, dan di balik setiap tindakan ada konsekuensi moral yang harus dipertimbangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H