Lihat ke Halaman Asli

Penyair Berlidah Setan

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen M.D. Atmaja

“Begitulah tipuan lelaki,” ucap Dhimas Gathuk sambil meletakkan sebendel kertas ke atas meja. Dia memandangku penuh curiga, menelisik jauh ke relung-reung terdalam hati.

“Siapa yang menipu, Dhi?” tanyaku sedih sebab tidak tahu, untuk apa pandangan Dhimas Gathuk, sedang aku tidak merasa menipu sesiapa pun.

“Berita,”

“Berita penipuan sudah biasa.” Sahutku cepat sebelum Dhimas Gathuk menyelesaikan omongannya.

Dhimas Gathuk diam, dia menatapku seksama, aku mungkin dia anggap buku yang mesti dibaca dengan cermat. “Kamu pernah jadi penyair, Ja?” pertanyaan aneh itu tiba-tiba melesat.

“Belum pernah berhasil, Dhi. Kenapa?”

Dhimas Gathuk menggeleng, “Tapi sudah berhasil nggombali perempuan kan?”

Kini aku yang diam. Dhimas Gathuk aku pandang baik-baik. Dia memang seperti buku, hanya dengan sampul yang seringkali berubah dan tidak menunjukkan bagaimana isi –pendalaman buku itu. Penyair –aku belum sempat berhasil menjadi penyair meski sudah berkali-kali menulis puisi dan membacakannya. Tapi soal ngegombal itu, ada hal lain yang tidak mengenakkan. Puisiku tidak berestetika rayuan kosong –atau terlebih lagi tipuan untuk berubah sesuai kondisi –layaknya bunglon yang meloncat dari dahan satu ke dahan lainnya. Estetika seni yang selama ini coba aku bangun adalah estetika kesadaran –menjadikan diriku sadar pada kehidupan, lalu untuk eling dan waspada.

Eling itu ingat, waspada ya waspada, sebagaimana pesan seorang Raden Ngabehi dari keraton Surakarta itu. Dan Gombal –apalagi kalau gombal-mukio, tidak mengajak pada estetika kesadaran. Estetika puisi gombalisme mengarah pada kesesatan –dan kesesatan lebih dekat pada tindakan setan. Aku tidak mau menjadi setan, meski aku ini manusia pendosa. Setidaknya, pendosa untuk dirinya sendiri dan tidak merugikan orang lain sebab yang merugikan orang lain itu –bukan lagi kawannya setan- tapi setan itu sendiri. Seperti koruptor yang mewabah di negeri tercinta ini.

“Kok diam, Ja?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline