Lihat ke Halaman Asli

Dari “Religiusitas” Menuju Pada Nikmatnya “Kawin”

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu deretan lagi, ketika kita mengungkapkan adanya nilai-nilai kehidupan yang dijaga oleh Tuhan melalui tangan hukum-hukum agama, kita mungkin dapat mengerti bagaimana peran kasih sayang Tuhan kepada manusia dan seluruh ciptaan yang terus Dia pelihara atas keberlangsungannya. Melalui aturan-aturan, hukum-hukum agama, dapat kita lihat adanya komponen yang dijaga agar mencapai apa yang namanya keselarasan hidup.

Dalam perbincangan Dari “Kawin” ke Religiusitas, dilanjutkan oleh seorang kawan yang lainnya. Kawan ini juga sama mabuk dalam dunia seni, namun dia yakin bahwa seorang seniman (baca: sastrawan) memiliki tanggung jawab moral dan spiritual. Seperti pandangan bahwa sastra (baca juga: seni) sebagai katarsis (penyucian jiwa) juga pandangan yang mengatakan bahwa sastra (baca juga: seni) memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan menggerakkan. Tentu saja, pendidikan merupakan sarana atas tujuan yang baik, yaitu dari gerak minus ke plus, yang mana ini dikatakan sebagai gerakan. Minus ke plus, katakan juga gerak dari kekotoran menuju kepada kebersihan merupakan nilai dari katarsis itu sendiri.

Seniman manusia yang hidup sebagai tukang cuci, bagaimana logikanya apabila seniman itu kotor dan membersihkan (mencuci) suatu benda (dalam hal ini hati atau jiwa manusia)? Apakah proses pensucian itu bisa bersih? Saya rasa tidak.

Manusia yang memiliki nilai religiusitas tentu saja akan tunduk dan patuh pada hukum-hukum agama. Saat kita mengatakan bahwa seniman adalah manusia bebas, merdeka, tentu saja dalam batasan-batasan tertentu. Kebebasan manusia terikat, pada hak orang lain, begitu juga kebebasan berekspresi serta bertindak oleh oknum pekerja seni. Kebebasan dan kemerdekaan pekerja seni tidak lantas boleh mengesampingkan apa yang namanya norma (baik sosial maupun hukum agama) sehingga tidak boleh mengatasnamakan kemerdekaan lantas berbuat “kawin-mengawin” sesuka hati. Tidak boleh mengatasnamakan kebebasan dan kemerdekaan untuk melanggar hukum.

Dalam pandangan kawan saja yang cukup religius dalam karya, menanyakan seperti ini: “Bagaimana manusia –kita ditipu setan untuk melakukan hubungan kawin-mengawin secara serampangan, sampai berani melanggar hukum Tuhan. Padahal, kalau kita membandingkan antara kenikmatan kawin-mengawin (tentu saja yang belum sah) dengan ancaman hukuman, sungguh tidak sebanding. Kenikmatannya hanya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, selama proses mengalirnya air melalui paralon pembuangan air. Sedangkan ancaman dari hukum Tuhan? Sungguh sangat menakutkan! Bagaimana kita ini bisa menukar kenikmatan yang singkat untuk mendapat siksaan yang panjang dan menyakitkan? Tentu kita sudah ditipu habis oleh setan.”

Saya sejenak merenungkannya. Seperti itu. Dan saya mengambil sedikit kemudian juga untuk menyimpulkan sedikit, bahwa konsep kenikmatan manusia harus dibatasi dan diatur dengan konsep religiusitas. Penggunaan “paralon pembuangan air” hendaknya bijak dengan menimbang keuntungan dan kerugiannya (meski ini tidak menyoal ekonomi) sebelum membayangkan besar kenikmatannya. Sekarang kita tanya pada diri sendiri, kenikmatan hubungan “Makan Lotek” dengan perempuan (atau sebaliknya perempuan dengan lelaki) kenikmatannya seberapa besar dan seberapa panjang? Tentu untuk menimbang-nimbang sesuatu kegiatan yang belum sah. Kalau sudah sah-sah melalui pernikahan tentu kita tidak perlu menimbang-nimbang lagi seberapa besar keuntungan dan kerugian kita dalam melakukan kegiatan perkawinan. [Catatan M.D. Atmaja]

Lengkong – Banjarnegara, 13 November 2012.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline