Lihat ke Halaman Asli

Pertemuan Itu,

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Catatan M.D. Atmaja

Sebenarnya, aku telah lelah untuk berkendara. Memacu angin yang mengendus muka bumi sambil bernyanyi. Hidup tidak seceria itu. hidup itu hening, tidak seceria itu. Hidup seperti pemujaan, tidak seceria itu. Dan aku menjalani sebagai pengendara bersama nyanyi yang terkadang pilu. Terkadang juga sendu. Meski, juga pernah aku dengar keriangan. Mengucur kebahagiaan penuh sampai cawan tanah ini tidak mampu menampungnya. Manis dan pahit, berirama dalam nuansa yang menyegarkan.

Perjalanan kali ini, didorong rindu. Menyeruak, memaksa hati untuk melaju di atas gundah. Akankah aku temui langit yang seperti dahulu? Atau pelangi berbias warna yang indah? Entahlah. Aku tidak berharap semua masih berada di tempatnya sedang, diriku ini telah melaju jauh meninggalkan semuanya menjadi kenangan. Bukan aku yang menginginkan, tapi waktu yang memaksaku seperti itu. Terus bergerak menciptakan kenangan, yang terkadang tidak mau aku kenang.

Seperti itu bukankah hal yang aneh. Aku bergerak mencatat kenangan tapi tidak mau membacainya sendiri. Ada yang terlalu pahit, membuatku pingsan. Pula, ada yang terlalu manis sampai membuatku muntah.

Di tepian pantai yang gersang, aku hentikan perjalanan untuk sejenak. Langkah kaki ingin sekali menginjak lautan. Berdiri di atas dermaga yang belum jadi. Konon, di wilayah ini kelak akan ada pelabuhan internasional. Menjadi pintu gerbang bagi kota kecil yang sebagian penduduknya petani dan nelayan pada wajah dunia. Pernah aku berpikir, apa gunanya pelabuhan internasional untuk petani dan nelayan? Toh, mereka tidak cukup punya uang untuk berinteraksi dengan mereka yang datang dari seantero bumi.

Pelabuhan ini juga yang kelak akan menggusur ratusan petani untuk pergi. Mau apa lagi kalau tidak pergi, tanah mereka di tepian pantai yang konon hanya magersari harus rela ditinggalkan. Rakyat yang hanya punya cangkul harus menghadapi kapal-kapal besar, pesiar, perdagangan. Apa yang harus mereka lakukan? Apakah harus menjadi buruh? Tetap buruh? Ah, seharusnya seorang raja lebih bisa bijak menghadapi rakyat bercangkul dan jaring rapuh yang selama ini telah mendukungnya sebagai raja.

Di atas benteng beton yang terus diserbu ombak, aku menemukan seorang lelaki. Duduk di pemecah ombak, menggelayutkan pandangan ke cakrawala. Pandangannya jauh. Seolah ingin menggapai dan melukis cakrawala dengan impiannya. Lelaki itu kurus, guratan wajah begitu pucat aku saksikan. Tapi sebentar, ia seperti aku kenal. Jauh dalam senyuman indah di masa silam ketika rambutnya tergerai keriting panjang dan kibaran bendera merah diikatkan di leher.

Benar! Ternyata memang benar aku kenal. Lelaki yang dahulu. Orang yang menghardikku dengan keras bersama pukulan dari tangan kiri yang lebih ampuh. Memaki habis. Menghabiskan diriku.

“Din?” panggilku dan dia langsung menoleh cepat.

“Hey,” dia kaget nama lama dipanggil namun aku yakin, dia pasti lupa dengan namaku.

Din, begitulah kami dulu memanggilnya. Manusia pemimpi yang dalam gelak tawa ingin menjadi aliran baru. Bertengger di atas isme-isme yang telah ada. Saat itu, dia benar-benar berusaha dengan keras. Belajar menyelidik, berdiri sendiri sampai muncul dalam irama tersendiri. Tidak mau terseret arus zaman. Mungkin, kita akan menganggap semua sikapnya itu sebagai kesombongan. Dia tidak melarang mendakwa dirinya sombong. Tetap tersenyum ringkas, seperti mimpinya. Isme itu teramat ringkas aku rasakan sekarang. Dan aku tahu, begitu juga dengan dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline