Lihat ke Halaman Asli

Orgy Onani Atas Gugatan Tanggung Jawab Kepenyairan

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat Terbuka M.D. Atmaja untuk Nurel Javissyarqi Pengelana Dari Lamongan Sumber: Jurnal Biro Khusus - Sarekat Sastra Indonesia

Sebelum memulai, perkenankanlah untuk menghaturkan beribu maaf yang bergelombang tinggi seperti tsunami untuk menghapus dosa yang mungkin tercipta dan berserak di atas dataran tubuh. Surat terbuka ini tidak bermaksud apa pun, selain membela diri, bukankah pembelaan diri yang tertindas adalah jihad yang diharuskan. Sebab, perlawanan atas penindasan pola pikir itu sebagai awal dari jati diri manusia yang masih memiliki harga diri. Berangkat dari rasa sayang dan cinta, kini saya pun berlenggang menghadapi kawan sendiri, Nurel Javissyarqi Pengelana Dari Lamongan Penulis Kitab Para Malaikat sekaligus Pemilik Pustaka Pujangga.

Lahirnya surat ini tidak lantas menjadikan saya sebagai pendukung Sutardji Calzoum Bachri, penyair yang menurutmu tidak bertanggung jawab. Namun sebatas catatan kecil untuk sikap yang sudah membawa diskusi pribadi ke tengah publik. Memang benar, saya mengatakan kalau tulisan saudara yang berjudul “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutarji Calzoum Bachri” tidaklah sistematis. Tentu itu bisa dijelaskan, dengan berbagai realitas yang mungkin tidak tersadari, sebab saudara Nurel Javissyarqi Pengelana Dari Lamongan juga si Keris Empu Gandring baru saja “dari alam gelap” (MTKSCB, 2011: 37).

Saya sungguh tidak mengerti, tidak menyangka kalau perbincangan pribadi itu menjadi bahan untuk ber-orgy di tengah medan yang saya kira belum saudara pahami. Ada beberapa kejanggalan dalam penulisan pengantar yang saudara sebut dengan “Mulanya” sebab di sana komentar itu tidak penuh, memplintir dan mencari sesuatu yang bisa menjunjung tinggi nama Nurel Javissyarqi Pengelana Dari Lamongan si Keris Empu Gandring. Satu halaman lebih sedikit (halaman 12 dan 13) saudara gunakan untuk beronani, memanjakan diri berteman kenikmatan dan segumpal nafsu birani yang sungguh tidak terbendung. Benarkah bisa mengudar diriku dari “kejiwaan, filosofinya, dan terserah?” (MTKSCB, 2011: 13). Ah, masak iya sementara novelku saya belum pernah kamu baca. Seringkas itu, dengan bahasa semudah itu namun masih saudara mengatakan ketidak-mengertian?

Coba telisik kata-kata ini: Ada cermin di belakang punggungmu, ada semut di depan hidungmu, ada kotoran di seberang lautan yang kau bidik dalam syahwat pujian. Saranku, berbaliklah, temukan diri pahami, kemudian berterima kasihlah.

Sudahkah bisa menemukan kejiwaan dan filosofinya?

Saudara Nurel Javissyarqi Pengelana Dari Lamongan si Keris Empu Gandring yang terhormat, tadi saya mengatakan soal ketidak-sistematisan penulisan buku itu, mungkin juga menandakan ketidak-sistemasian dalam berpikir, kerancuan berpikir.

PERTAMA, apa yang sebenarnya saudara tulis dalam buku terbaru itu? Apakah benar-benar menggugat tanggung jawab kepenyarian SCB? Lantas kenapa menjadi analisis puisi mantra? Apakah pengetahuan yang saudara miliki “dari referensi olah rasa dan daya lain yang terkandung dalam diri, pula perpustakaan pribadi” (MTKSCB, 2011: 13) tidak bisa menemukan bahwa mantra yang saudara jamah sebagai bagian dari estetika puisi? Kalau hanya ingin menggugat tanggung jawab yang SCB ketengahkan dalam “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” maka berkutatlah di sana saja. Tidak perlu meloncat-loncat dari dahan ke dahan lain. Apakah ini “loncatan pikiran” itu yang menandakan ketidak sistematisan dalam berpikir?

KEDUA, menyangkut pendeskripsian yang menurut saya tidak terarah. Berputar-putar seperti gasing dengan istilah-istilah yang luar biasa rumitnya. Apakah hidupmu hanya untuk memperjuangkan istilah itu, Saudara Nurel Javissyarqi si Keris Empu Gandring? Membicarakan masalah bahasa mau tidak mau membicarakan masalah komunikasi. Bukankah komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dimengerti semua orang? Atau jangan-jangan, buku itu saudara Nurel Javissyarqi Pengelana dari Lamongan buat, khusus untuk diri saudara sendiri, sehingga, terserah orang mau memahami atau tidak.

KETIGA, Metodologi penulisan. Saudara sudah memasuki wilayah kritik sastra dan dalam dataran ini dibutuhkan adanya metodologi penulisan, baik untuk menulis maupun untuk membaca (analisis) bahan.

KEEMPAT, Posisi saudara sebenarnya dimana? Berusaha mematahkan perpuisian mantra dan ingin menggantikan dengan Kitab Para Malaikat (2007) milikmu itu? Setelah kau sebut sebagai sumber bandingan atas kebenaran yang belum teruji. Ah, ini seperti penjual di pasar yang mengatakan kalau penjual ikan di samping jelek, yang terbaik hanya ikan yang dijual sendiri. Ah, lagi-lagi memasuki dunia politik sastra. Apakah ini, politik sastra tujuan Saudara Nurel Javissyarqi Penulis Kitab Para Malaikat?

Banyak hal yang ingin sekali saya utarakan di sini. Namun waktu membatasi diri untuk menghujat orang lain. Sedikit merenung, sedikit belajar, sedikit membatasi diri adalah yang saya kira terbaik untuk diri. Saya tidak memiliki guru yang bisa saya sebut-sebut seperti saudara Nurel Javissyarqi si Keris Empu Gandring.

Membicarakan masalah mantranya SCB hampir sama dengan membicarakan KPM punya saudara Nurel Javisyarqi. Seorang kritikus sastra akan lebih memandang keseluruhannya sebagai estetika puisi, suatu bentuk yang menjadi kekhasan bagi sastrawan tersebut. Apakah salah ketika bersemboyan: ini mantra, ini kitab, atau ini hanya orgy onani?

Saya hanya bisa tersenyum kasihan, ketika saudara sampai meminta bantuan roh-roh, segitunya untuk membuka tabir misteri perpusian mantra SCB. Semisal saya sendiri tidak perlu meminta bantuan roh, hanya cukup bercakap dengan Kakang Gathak dan Dhimas Gathuk sambil menikmati kopi dan rokok Klembak Menyan. Akan saya terjemahkan dari struktur sampai bunyi dengan lebih jelas, ketimbang apa yang sudah saudara keluarkan. Pun, bersama dengan Kakang Gathak dan Dhimas Gathuk, saya juga bisa membuat Kitab Para Malaikat yang saudara Nurel Javissyarqi banggakan, menjadi remah-remah kecil untuk di sapu dan dilempar ke tong sampah.

Pahamilah surat terbuka ini, kawan. Dan coba simaklah Kitab Para Malaikat, sebab salah satu tanggung jawab penyair adalah melakukan apa yang sudah dikatakan melalui karyanya. Apakah seluruh kebijaksanaan di Kitab Para Malaikat sudah saudara Nurel Javissyarqi si Keris Empu Gandring pahami? Kalau sudah, tentu kebijaksanaan itu akan nampak dalam perilaku. Dan kalau ternyata belum, maka saudara bukanlah penyair yang bertanggung jawab. Untuk mengakhirinya, saya mengucapkan terima kasih. Saya juga ingin berpesan, silahkan saudara Nurel Javissyarqi Penulis Kitab Para Malaikat memahami karya sendiri, terlebih Kitab Para Malaikat. Selamat siang, selamat hari Kebangkitan Nasional dan selamat meloncat-loncat dalam pikiran.

StudioSDS – Bantul, 20 Mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline