Lihat ke Halaman Asli

Di Sini Perempuan Yang Dihidangkan*

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warna dari sisi kehidupan lain, terkadang terlihat janggal apabila kita saksikan dari sisi yang berbeda. Mungkin saja kita akan menilai aneh, atau meberikan dakwaan atas suatu perihal. Namun inilah sisi-sisi kehidupan itu, di dalamnya mengandungi ketidak-mutlakkan mengenai suatu kebenaran. Setiap sisi memiliki kebenarannya tersendiri, meskipun kebenaran itu berada jauh dari dasar kebaikan universal dan norma suatu masyarakat.

[caption id="attachment_803" align="alignleft" width="300" caption="Erianto Anas-Anggur Metropolis-Akrilik di atas Kanvas 150x90cm- 2006"][/caption]

Hal ini yang saya temukan dalam pembangunan simbol yang dibentuk oleh Erianto Anas dalam salah satu karyanya berjudul “Anggur Metropolis (2006)”. Menurut penilaian saya, si pelukis bermain dengan indah. Membidik perbedaan itu, fenomena masyarakat yang menggelitik sekaligus renyah. “Anggur Metropolis” dapat dipandang sebagai suatu bentuk kritik dari perupa atas fenomena realitas yang dia temui.

Kejadian yang tertuang di atas kanvas itu dapat menjadi suatu perbincangan fenomenologis yang membangun, juga mengajari untuk bercermin diri dan menemukan identitas bangsa – yang menurut saya porak-poranda. Judul yang mengesankan pada eksotisme dan kenikmatan merenggut saya dari kesunyian pedesaan untuk melaju di wilayah yang glamour, penuh keceriaan (yang mungkin saja semu), dan menumbuhkan pertanyaan hebat: apa benar bumi tempat kita hidup ini sudah seperti dalam gambar itu?

Gairah (baca: nafsu) akan kesenangan hidup tergambar jelas di sana. Memberikan titik tersendiri untuk memulai dan menghayati persoalan. Pun, tentang hakekat dari suatu perjalanan kehidupan manusia. Kita berdiri di sini untuk apa? Tanya saya sambil membayangkan gairah yang dituangkan pelukis di atas kanvasnya. Membayangkan kenikmatan yang bertubi-tubi dan belum sempat saya rasakan.

Meskipun subjek perempuan tidak dinampakkan wajahnya, saya tahu kalau perempuan itu cantik bersama pulasan make-up yang serasi. Kuning kaki yang terjulur, dan telanjang mengajak saya untuk menari. Mengikuti arus yang tidak akan bisa saya lepaskan untuk kembali menjadi petani. Anggur Metropolis adalah godaan, kenikmatan dunia yang hebat dan saya kira tanpa batas. Kenikmatan yang berlebih dari dunia modernisme, lengkap dengan berbagai atribut yang ada di dalamnya. Karena terlalu banyaknya kenikmatan yang ada di sana, sampai pun sampai mabuk. Mabuk berat, tidak kuasa untuk bangun lagi.

Hal yang paling menggelitik bagi saya adalah posisi subjek perempuan. Mungkin si pelukis sengaja membuat perempuan itu duduk dengan mini-dress berwarna merah bukan telanjang dan terbaring. Pakaian yang dikenakan subjek perempuan memberikan kesan elegan, berpendidikan, dan bahkan kekayaan. Ia berada dalam dunia kepalsuan, menyembunyikan jati diri dari dunia yang menyimaknya. Karena perempua ini memakai make-up (pemulas bibir) yang dalam gambar ini dijadikan tempat duduk. Fenomena seperti ini dapat dipandang sebagai sifat dari subjek perempuan dalam memposisikan diri.

Sifat yang mana selalu mencerminkan mengenai manisnya tutur, yang mungkin saja dalam bujuk rayu untuk menggapai keinginan. Subjek perempuan cenderung memaniskan kata-kata, dengan maksud tertentu. Ini jauh berbeda dari budaya Jawa mengenai “ethok-ethok”, sebab subjek perempuan menjadikan kata-katanya sebagai tempat duduk. Di dalam gelas kaca lagi. Subjek perempuan mencari kehidupan dari bibir itu, yang menurut warnanya bahwa perempuan itu sangat agresif.

Mini-dress berwarna merah juga mencerminkan sifat agresif, gairah, dan keinginan yang kuat. Selain itu, saya juga membaca adanya keinginan yang kuat untuk menjadi dominasi, yaitu keinginan untuk berkuasa pada setiap aspek yang ada di sekitar subjek perempuan. Apakah ini salah? Semua ini tergantung dari diri kita sendiri. Tapi sebentar, di kaki kuning langsat yang menjulur panjang, kita menemukan bar-code. Kok seperti baju yang ada di etalase? Jangan-jangan, ini seperti perdagangan diri.

Kalau memang benar demikian, dalam kehidupan metropolis subjek lebih cenderung melakukan segala aktivitas untuk mencapai kesenangan dan dominasi. Bahkan dia menjual dirinya sendiri, menghidangkan diri di dalam gelas untuk diteguk seseorang. Hah, seperti inikah kenimatan yang ditawarkan “Anggur Metropolis”, kehidupan metropolis? Silahkan dinikmati dan interpretasikan untuk diri kita sendiri. Terima kasih.

Studio SDS - masih dalam Perjalanan Pulang, 2011

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline