Lihat ke Halaman Asli

Diawali dengan Resapan Cinta

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad
ruh bersaksi sederaian gerimis menghantarkan rasa atmosfer semesta
terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga [I]” (KPM, 2007: 1)

Begitu, Nurel Javissyarqi (NJ) mengawali karyanya yang berjudul Kitap Para Malaikat (KPM) dengan muqaddimah. Butiran puitik yang dibingkaikan sosok NJ melalui KPM-nya ini digerbangi shalawat atas Nabi, Muhammad SAW. Melantun, sebagai pembuka dari catatan panjang yang sungguh tidak bisa dianggap remeh. Seolah sudah mendapatkan deretan wangsit (baca juga dengan: kesaksian), NJ menembangkan shalawat untuk mengabari kita kalau Para Malaikat yang ditemui tidak hanya mentasbihkan keagungan Allah Ta’ala, melainkan juga berderet dalam rangka merajut doa untuk pengagungan Nabi SAW.

Membaca Kitab Para Malaikat

Mencermati sebait di awal ini, saya pun kemudian undur diri untuk mengheningkan diri sejenak. Menyusupi dan ikut bershalawat dalam hening sambil menimbang bobot kata pembuka dalam ayat I surat muqaddimah ini. Pasti, pikir saya dalam prasangka baik, sang NJ mengumpulkan sekarung nilai dalam shalawat yang tentu saja dapat dipergunakan sebagai bahan untuk menterjemahkan keakuratan usaha dalam rangka mengumpulkan berkah cahaya Ruhaniyyuun. NJ menapak tilas di perjalanan umurnya untuk mendaki dan bersusah sungguh demi mengungguli kemerlap dari makhluk-makhluk yang disucikan (KPM, 2007: 1).

Berhantar bait (baca: ayat) pertama dalam judul (baca: surat) Muqaddimah; Waktu di Sayap Malaikat, pun di sini NJ menitipkan doa keselamatan untuk seorang utusan, Nabi Besar Muhammad, penutup para Nabi Allah. “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad” NJ memulai mengungkapkan rasa yang dikristalkan dari dalam dada.

Penempatan sebaris doa ini, dimungkinkan saja, bahwa NJ bermaksud menebarkan keselamatan di muka bumi bersamaan dengan proses pembacaan KPM oleh masyarakat. Seperti yang pernah diungkapkan NJ sendiri pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 2010 di Padepokan Selo Aji, Trowulan, Mojokerto, yang menyatakan bahwa, “KPM ini apabila cukup disimpan di rumah, niscaya rumah itu dapat terhindarkan dari marabahaya”. Pengakuan ini memberikan saya sekelumit bekal, adanya bait (baca: ayat) pertama di Muqaddimah KPM yang mengisyaratkan akan keselamatan dan sekaligus cinta, yang mendatangkan keselamatan tersebut, dari NJ pada keagungan Nabi Muhammad SAW. Khasanah cinta yang dibawa NJ, pun menjadi dorongan utama dalam panjangnya perjalanan. Masa ini membawa NJ berpapasan dengan simbol spiritual (maupun mistis) yang pada perkembangan selanjutnya menjadi pengalaman religi. Cinta, tertuang dalam estetika religius yang kental. Aspek ini membentuk KPM dengan sedemikian rupa sebagai sarana pemujaan atas cinta keilahian.

Akiya Yutaka (melalui Abdul Hadi W.M., 2004: 5) mengatakan bahwa doa dan cinta serta sembahyang memiliki peran yang sangat penting dalam proses penciptaan puisi. Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat memuat tiga aspek tersebut. Shalawat Nabi atas makro-kosmos. Sebait, yang sudah mengandungi doa, cinta serta sembahyang, seperti yang diungkapkan Akiya Yutaka di atas. Mendoakan karena mencintai, dan rasa cinta yang hadir menuntun pada sembahyang (sembah-Hyang). Akantetapi, dari tiga aspek maknawi proses penciptaan KPM, lebih didasari oleh aspek cinta. Rasa cinta, memiliki timbangan yang lebih berat daripada dua unsur yang lain.

Cinta (mahabbah) dapat diungkapkan sebagai nilai hidup yang merupakan santapan hati, makanan ruh dan juga kesenangan (Al-Jauziyah, 1998: 421). Melalui cinta ini, NJ menghidupkan jalan renungan untuk mensketsa warna jiwa cinta para Malaikat. Sampai pada noktah perjalanan tertentu, rasa cinta itu menjadi ruh pelita perjalanan jiwa yang bersaksi kemudian mengendap.

Rasa cinta menuntun pada laku perjalanan panjang yang secara tidak langsung menjadi laku dalam membuat gudang pengalaman. Perjalanan mistis (atau mungkin juga spiritual) yang menghenyak di dalam sanubari. Diawali dalam sesenggukan meresapi cinta yang menumbuh dalam batiniah yang dengan puisinya ini, NJ menasehati dirinya sendiri dan (tentu saja) para pembaca:

Maka jangan menghitung masa bertirakat,
hisaplah kutub keberadaan kekuatannya [V]

menempuh jalan pemahaman untuk sesuatu yang terus dicintai, terus disugestikan akan adanya keharusan akan kehendak sehingga menjadi tabu kalau sampai menghitung pengorbanan yang telah dipersembahkan. Cinta tidak memiliki rumus hitungan, tentang seberapa banyak yang akan didapat dengan seberapa banyak yang akan diberikan. Sebab itu, cinta jauh dari untung dan rugi. Di sana tidak ada hukum-hukum ciptaan manusia seperti ekonominya Smit atau matematika yang memiliki dasar hitungan. Rasa cinta adalah senyawa ilahiah, yang ketika mengatakan cinta musti dibarengi dengan perjalanan pemahaman sebagai nyawa persembahan seperti dalam ayat IV surat Muqaddimah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline