Lihat ke Halaman Asli

Noumenus (Babak 16)

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Sendirian, Is?" tanya Hartanto renyah.

Fais tidak menjawab selain dengan mengangkat kedua tangannya melebar. Dengan gerakan itu seakan dia ingin mengatakan: ini kamu lihat aku hanya sendiri, tidak perlu kamu berbasa-basi menanyakannya.

"Aku ke belakang dulu, Mas." Kata Eko.

"Lho,"

"Sudah ada Mas Fais yang menenami!" ucap Eko cepat sebelum Hartanto melanjutkan kata-katanya.

Eko langsung tenggelam kembali ke dalam pekerjaannya. Dia memang bos, sang pemilik Kedai Cangkir dan Kedai lainnya, tapi dia selalu bekerja seperti semua karyawannya. Dia seperti karyawan biasa yang menerima gaji setiap bulannya, memakai kaos yang sama dengan para pekerjanya bahkan saat berangkat ke Cangkir, Eko hanya dengan sepeda ontel yang sudah berkarat di banyak bagian. Dia menjadi contoh bagi karyawan-karyawannya, bahwa tidak ada perbedaan antara karyawan dan pimpinan selain prestasi kerja, mereka harus sama-sama bekerja demi kelangsungan hidup kedai mereka. Eko selalu mengajarkan kepada semua karyawannya untuk berprestasi, siapa yang berprestasi akan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan prestasinya. Hartanto pun menggeleng, mengangkat gelasnya sebagai tanda salut dan bangga telah mengenal Eko.

"Nandar pergi ke mana, Har?" tanya Fais sambil menuliskan pesananan.

"Aku belum bertemu Nandar sejak tadi siang. Tapi paling juga dia pulang ke Pondok."

"Aku sampai lupa kalau Nandar itu anak pesantrenan," ucap Fais tersenyum dan memukul kepalanya sendiri dengan pelan.

Ia tidak menyangka kalau Nandar masih berada di pesantren, tidak seperti anak pesantren yang banyak dia kenal. Setelah lama hidup di Yogyakarta dengan banyak pergaulan yang semakin beragam, lama kelamaan mulai meninggalkan pesantren dan menikmati hidup seperti anak muda pada umumnya. Mengenal pacaran, mengenal istilah ngamar, dan banyak lagi yang tidak bisa dinalar kalau mereka dulunya hidup di pesantren. Fais masih menggelengkan kepala sambil tersenyum. Tapi inilah Nandar, terus bertahan dengan penuh keyakinan tidak seperti dirinya sendiri.

"Bagaimana kabarnya Narti, Is? Sudah lama aku tidak bertemu dia di sini."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline