Usaha Hartanto ternyata tidak sia-sia. Rena melepaskan pegangannya walau masih menyisakan ketidakrelaan saat Hartanto akan meninggalkan dirinya. Lain halnya dengan Hartanto yang langsung merasa lega karena bisa segera berlalu seperti apa yang sebenarnya dia inginkan. Menjalani hari dengan tanpa mendengarkan tangis dan keluh-kesah Rena. Setelah pergi, Hartonto hanya menelusuri jalan dengan rasa malas yang meresapi pikiran saat matahari terasa panas memanggang kepadalanya. Rasa haus pun menjalar menuju kerongkongan dan Hartanto berhenti di bawah pohon, mengeluarkan lintingan tembakau yang tadi tidak sempat dirokok. Ia pun mulai merokok sambil bersandar pada pohon Palem.
"Kamu kenapa, Ren?" tanya Nandar dengan suara serak.
"Aku tidak kenapa-kenapa." Ucap Rena sambil menghapus air mata yang terus meleleh. "Kabarmu bagaimana, Ndar?"
"Aku?" tanya Nandar pelan dengan melihat Rena yang menganggukkan kepala sambil tersenyum, yang masih tetap terlihat cantik walau habis menangis. "Baik," lanjutnya dengan senyuman yang seperti dulu, senyuman yang penuh dengan harapan.
"Beberapa orang memang dilahirkan dengan keberuntungan tapi beberapa yang lain tidak,"
"Kamu termasuk yang mana, Ren?" tanya Nandar sambil menghadirkan senyuman kecil.
Rena hanya menghadirkan senyuman kecil yang kemudian menundukkan kepala. "Aku mungkin termasuk orang yang tidak dilahirkan dengan keberuntungan." Ucap Rena sambil merasakan dadanya begitu perih.
"Jangan terlalu didramatisir, semua orang lahir dengan nasibnya sendiri-sendiri. Lahir dengan keberuntungan dan kesialannya sendiri-sendiri. Beruntung atau tidak beruntung, semuanya hanya terletak di sini, di dalam hati setiap manusia. Hanya tinggal bagaimana kita menghayati setiap hal, menjadikannya sebagai keberuntungan atau sebagai kesialan. Semua ini tergantung dari bagaimana penerimaan hati kita pada takdir yang sudah terjadi."
"Aku perlu waktu untuk mengerti,"
"Bukan untuk dimengerti dengan pikiran kita, Ren!" Nandar menggelengkan kepala. "Hidup seperti halnya seni yang harus dirasakan dengan hati, dengan rasa ikhlas menerima setiap kehendak Tuhan. Penerimaan itulah yang ibarat merubah penderitaan menjadi rasa yang menyenangkan dan kesenangan menjadi syukur. Bagaimana kita merasakannya, bagaimana kita menghayati yang menentukan semua itu."
"Kamu mulai seperti Hartanto," Rena tersenyum kemudian mengarahkan pandangannya ke arah di mana Hartanto pergi. "Empedu, kalian coba jadikan madu dengan kata: penerimaan. Tapi tetap saja itu adalah empedu. Pahit!"