Sembilan puluh satu milyar, seberapa besarkah angka itu? Menurut teman saya, uang sebegitu adalah biasa. Ya, dia seorang direktur keuangan perusahaan multinasional. Banyak proposal dimeja kerjanya yang bertuliskan angka puluhan milyar. Tidak perlu jauh-jauh melihat si dia yang baru kehilangan 15 trilyun dalam hitungan kurang dari sehari. Tidak, jangan kuatir, dia tidak mendadak serangan jantung atau stroke. Apalagi kemudian berobat atau mencari tabib, paranormal atau orang hebat lain-lainnya. O oooo tidaklah, santai saja.
Sembilan puluh satu milyar. Saya juga pusing kalau punya duit segitu, baik dalam rupiah apalagi Dolar US atau Euro. Pusingnya adalah bagaimana menyimpannya. Kalau disimpan dirumah, tentu membuat saya tidak bisa berangkat bekerja. Sibuk melototin. Kalau disimpan di lembaga keuangan, tentu akan memancing kecurigaan. Mending kalo memancing ikan atau belut, masih enak untuk lauk makan dan sarapan.
Sembilan puluh satu milyar. Deretan angka-angka sakti yang menjadi kualitas pembeda antar generasi yang lewat dan seorang suksesornya. Tadinya saya dibisikin, bahwa yang membuat beda perlakuan atas sembilan puluh satu milyar itu adalah kaca mata, eh, tapi faktanya keduanya jarang-jarang memakai kacamata. Memang sih ada yang lebih sering, tapi apakah iya itu seharga kaca mata? Kemudian ada yang malu-malu, mengira perbedaan disebabkan karena earphone/headset-nya. Faktanya tiap beli handphone dapat earphone gratis.
Ada lagi yang beride bahwa itu karena jam terbang. Waduh, terus terang database soal pilot or no pilot adalah diluar kuasa saya. Saat memejamkan mata dan mencoba memicingkan mata hati, terlihat secercah sinar bahwa salah satunya memang ada kans lebih sering mengangkasa. Baik disetirin atau menyetirkan diri. Andai dikumpulkan dalam bentuk tiket pesawat tentu bisa lebih tebal daripada kertas HVS satu rim.
Tiba-tiba dibelakang ada yang nyeletuk, itu karena ukuran baju. Heh, apa pula maksudnya. Jawaban guyon yang garing seperti itu tentu saja menyebalkan. Tapi dengan segala kearifan, saya coba tanyakan apa maksud dari pernyataan tersebut. Meski dengan agak takut-takut, dia menjawab, dengan sedikit terbata-bata yang bukan batako. Sebenarnya ukuran baju bukan satu-satunya sebab. Ukuran baju yang dimaksud adalah karena jelas, semakin large tentu perlu bahan lebih banyak. Selain itu tentu saja lebih berat. Untuk mengangkut dan mengolahnya juga harus sepenuh tenaga kuda. Belum lagi soal bahan, beda antara yang biasa dilipat tangannya dan yang sayang-sayang bila tidak di-hanger. Masih ditambah lagi bila banyak kantong saku, lahir maupun batin. Wah.
Ternyata pergulatan sembilan puluh satu milyar begitu ruwet dan rumit. Entah kalau Saudara Saudari sekalian juga memiliki andil dalam nuansa bhinnekanya. Sambil tertegun dan membayangkan lagunya Oppi Andaresta yang mengajak untuk menjadi Orang Kaya dalam pengandaian, saya iseng-iseng berhitung. Bukan dari nol atau 4x6. Saya mengambil angka besar saja. Mulai dari sembilan puluh satu milyar sampai dengan enam koma delapan trilyun. Tadinya mau sampai dengan tujuh koma empat trilyun atau delapan koma dua trilyun, tapi kuatir mata nggak kuat saking mengantuk karena bosan.
Anda bosan nggak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H