Lihat ke Halaman Asli

Pegawai Malu

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di jaman teknologi dan globalisasi ini, banyak fenomena perubahan yang terjadi dan dengan cepat. Orang-orang tua yang sempat bercerita dan berbagi masa yang mereka lalui, menyatakan bahwa mereka masih suka terkaget-kaget dengan polah tingkah generasi saat kini. Tidak, belum perlu menyampaikan bahwa anak-anak kecil baru bisa jalan, ternyata sudah memiliki ketertarikan pada smartphone bahkan bisa mencoba-coba fitur-fiturnya. Demenyar, kata orang-orang Jawa. Perasaan suka atau ketertarikan yang intens pada hal baru sehingga termotivasi untuk kreatif dan inisiatif mencari jawaban dan memuaskan keingintahuannya.

Tapi saya tidak ingin menulis tentang itu. Perihal menggemaskan untuk di-sharing kali ini adalah ungkapan pengamatan atas perilaku generasi pemimpin yang aneh dan lucu. Hal ini cukup menggelitik hati dan jari sehingga sepertinya sore yang cukup nyaman untuk bersepeda ini, mungkin dapat dikorbankan sekali ini. Kejadian yang serupa mungkin juga masih kadang terjadi di lingkungan lain. Sehingga di jaman yang sudah dekat dengan MEA ini (bukan minuman etil alkohol, tetapi masyarakat ekonomi Asia).

Seorang pemimpin bertugas untuk memimpin, berada di depan. Maknanya adalah dia dilihat oleh yang dipimpin, jadi harus berupaya untuk bisa dijadikan contoh. Apa saja yang dilihat dan dicontoh? Semuanya. Penampilan, tutur kata, bahasa, sikap, perilaku, dan banyak hal lain. Ada yang bercanda, didepan barisan ambil jatah makan, jatah menerima pembayaran, prioritas bonus jalan-jalan dan segala fasilitas yang bisa dibebankan kepada negara atau rakyat. Wah, seorang senior disebelah saya tersenyum dan berkata, itulah fenomena realita, semua tahu, semua pingin aman dan tidak mau beresiko untuk meluruskan. Kami terdiam.

Pemimpin posisinya ada diatas. Dia bisa mengamati dan mencermati kondisi. Seorang pemimpin harus bisa mengatur dan memberikan kenyamanan pemberdayaan sumber daya. Pada situasi dilema dan konflik, pemimpin harus dapat menenangkan dan memberikan arahan dengan bijak sehingga masing-masing pihak dapat kembali berpegang pada substansi dan mengutamakan tercapainya tujuan bersama. Beberapa teman tertawa cekikikan lirih seperti kuntilanak pemalu. Bukannya para bos itu maunya semua beres dan lancar, tinggal tanda tangan, terima reward yang paling besar, pintar nyuruh-nyuruh, menyalahkan anak buah, dan jago urusan marah-marah? Senior disebelah ikut berkata lirih bahwa dia harus minum dulu, glek, biar hatinya kembali hangat tahi ayam. Dengan segala assessment, fit proper test, dan pergaulan akademis tingkat tinggi, yang diharapkan dapat mereduksi kebanyakan hal-hal itu, ternyata masih banyak yang basa basi dan dengan mudah dikibuli, demikian lanjut opini beliau. Dan dilanjutkan nasehat beliau agar saya lebih banyak belajar mendengar dan melihat dengan teliti lagi.

Pemimpin bertanggung jawab atas harkat martabat kepemimpinannya. Itu berarti seorang pemimpin harus menjaga diri karena dirinya menjadi cermin dan cover. Pemimpin ibarat muka pada manusia. Mimik muka, senyum, riasan, maupun tatap matanya dapat menjadi parameter untuk mengukur kualitasnya, kondisi raga dan jiwanya. Pemimpin yang kuat mesti menyatakan organisasinya secara fair dengan tetap menjaga martabat dan kehormatan kinerja anak buahnya. Selain itu, pemimpin juga harus mengamankan selain dirinya, juga anak buahnya dari resiko yang berpotensi merugikan baik fisik, ekonomi, maupun peradaban. Ih, ada air memercik dari belakang. Saat saya tengok, rekan dibelakang langsung meminta maaf sambil mengelap mulutnya. Dia bilang bahwa kata-kata barusan membuat dia tercekat saat meneguk air. Lanjutnya, pemimpin itu kan pintarnya cari muka, berlagak keren dengan mencontoh jurus-jurus bos besar, hobby bilang ya ya ya baik baik baik, berperilaku ala renang gaya katak, atau berpolitik pisau belah bambu, bermuka seribu, dan memikirkan diri sendiri. Haduh, saya cuma senyum nyengir, sedikit malu. Semoga tidak ada yang mendengar ungkapan tadi, agar tidak salah sangka bahwa saya bergosip atau menuduh saya sebagai aktivis gerakan sakit hati.

Weits, tiba-tiba pergelangan tangan saya terasa dicengkeram. Secara reflek, setelah melihat ke arah tangan itu kemudian menengok ke senior sebelah, karena beliau yang mencengkeram tangan saya. Matanya tajam kedepan, cuping hidungnya memperlihatkan nafasnya yang agak tegang dan daun telinganya agak memerah. Pasti mukanya panas sebagai efek dari hati yang overheat. Tapi segera beliau menunduk, menghabiskan minuman air putih gelasnya, kemudian melipat jaket yang ditaruh di kursi disebelahnya. Sambil menyelempangkan tali tas dipundak, beliau menoleh ke arah saya. "Sudah Nak, saya sampai disini saja", ujar beliau. "Semoga tetap kuat untuk tidak memasukkan diri kepada golongan yang tertipu dan menipu. Golongan yang pintar beralih-alih hanya demi secuil dunia. Saya malu", tutup beliau sambil beranjak pergi tanpa menunggu jawaban. Setelah mempersilakan beliau untuk lewat, saya terdiam, bingung sendiri, tidak paham apa maksud malu beliau.

Yang kemudian terlihat adalah ketika beliau hanya tersenyum, mengacungkan jempol, dan melambaikan tangan kepada pembicara didepan, saat pembicara itu menyapa dan menyebutkan nama beliau kepada hadirin. Namun terlihat tatap mata dan senyumnya hampa, tanpa rasa. Beliau adalah kawan lama yang diundang khusus dalam acara seminar ini. Beberapa paragraf disampaikan keterangan mengenai siapa dan sepak terjang beliau. Kasak kusuk disebelah mengindikasikan bahwa beliau mengundurkan diri sesaat setelah dilantik sebagai eselon atas. Konon kabarnya masih terlalu idealis, apalagi setelah menunaikan rukun agamanya yang terakhir. Saya jadi malu tidak sempat berkenalan tadi. Sedikit banyak memang karena saya memilih untuk diam dan berusaha bertasbih untuk menenangkan diri. Seminar bertema etika dalam kepemimpinan era reformasi ini sangat berat bagi saya mengingat diselenggarakan di kantor yang level ekonominya jauh diatas level saya. Karena minder, makanya saya lebih memilih menyibukkan diri. Sedikit mirip dengan beliau, saya juga malu, tapi miripnya teramat sedikit sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline