Lihat ke Halaman Asli

mcDamas

Wiraswasta

Di Balik Duet Rhoma dan Jokowi di Panggung JNF

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1388574027165552860

[caption id="attachment_302887" align="aligncenter" width="540" caption="gambar: merdeka.com"][/caption] Siapa yang tak kenal Rhoma Irama, raja dangdut yang menjadi living legend blantika dutrock yang tak tertandingi hingga saat ini. Siapa pula yang tak kenal Jokowi, seorang tukang mebel yang karir politiknya melesat bak meteor meluncur dari seorang walikota Solo hingga menjulang di kursi DKI 1 dengan branding busukan-nya. Sangat banyak penyanyi atau pemusik dangdut di negeri ini, sebelum dan sesudah Rhoma Irama terkenal juga sangat banyak pemusik dangdut yang terjun di genre yang digeluti Bang Haji; tetapi yang mampu bertahan dalam kurun dekade dan terus aktif menggubah musik dan lagu dangdut yang selalu hit dan digemari oleh khalayak hanya Rhoma Irama. Begitu juga dengan Jokowi, sangat banyak pejabat atau politikus sebelum atau sesudah Jokowi yang melakukan blusukan ke masyarakat, mulai dari zaman Soeharto hingga SBY; tetapi blusukan untuk bekerja hanya dilakukan oleh Jokowi. Soeharto atau SBY melakukan blusukan dengan istilah Turba (turun ke bawah). Mereka Turba layaknya seorang raja mengunjungi masyarakat lebih dekat agar mereka di anggap ada sebagai pemimpin. Acara Turba pun diatur dengan prosedur dan protokoler yang ketat dan rakyat diinstruksikan untuk berkumpul sebuah tempat atau berdiri di sepanjang jalan yang akan mereka lewati untuk mengelu-elukan sang pejabat sambil melambaikan tangan atau bendera. Jalan-jalan dan panggung pun dipersiapkan agar semuanya terlihat bagus. Mereka akan sering Turba terutama untuk pencitraan menjelang pemilu. Blusukan Jokowi berbeda; Jokowi turun ke bawah bukan saja karena dia harus menunjukkan bahwa dia ada sebagai seorang pemimpin, tetapi karena blusukan itu adalah kerja. Jokowi meyakini bahwa masyarakat adalah tempat segala masalah; sebaliknya masyarakat juga tempat mencari solusi untuk mengatasi atau memperbaiki masalah. Blusukan Jokowi tidak perlu diatur dengan sebuah protokoler dengan penjagaan para pengawal yang ketat dan panggung yang gemerlap. Jokowi melakukan blusukan dengan berjalan kaki dari kampung ke kampung menyusuri gang-gang sempit dan tempat-tempat kumuh membaur dan menyapa masyarakat sambil mendengarkan keluhan mereka. Jokowi yang kini menjadi gubernur DKI bersama Ahok sebagai wakilnya terus konsisten untuk bekerja melayani rakyat Jakarta dengan cara blusukan. Meskipun saat ini dianggap sukses sebagai pemmpin, namun tidak mudah bagi keduanya untuk menuju kursi 1 dan kursi 2 DKI. Banyak sekali hambatan dan fitnah yang meluncur ke arah mereka saat kampanye pilkada agar mereka tidak berhasil merebut "kekuasaan" di ibukota ini; salah satu fitnah yang serius datang dari Bang Haji Rhoma Irama. Rhoma Irama saat itu dengan keras menyatakan bahwa haram bagi Jakarta dipimpin oleh Jokowi-Ahok karena kedua orang ini dianggap tidak mewakili Jakarta atau Betawi yang adalah masyarakat muslim. Bahkan Rhoma menuduh bila Jokowi-Ahok benar-benar menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI, maka Jakarta akan menjadi seperti Singapura atau Hongkong; penduduk (asli) Jakarta akan teringkir dan Jakarta akan dikuasai oleh para cukong. Tetapi kini saat Jokowi-Ahok ternyata adalah gubernur dan wakil gubernur, semua fitnah dan tuduhan tersebut tidak terbukti. Justru yang terjadi, budaya masyarakat asli Betawi mendapat perhatian yang lebih dan diberi ruang serta dukungan penuh untuk berkembang dan lestari hingga para pegawai pemprov DKI pun diwajibkan memakai pakaian adat Betawi pada setiap hari Jum'at. Pembangunan Jakarta berjalan dengan transparan dan partisipatif dimana rakyat dan pemda bahu-mebahu berkerjasama memperbaiki Jakarta. Untuk politisi atau pejabat yang berjiwa kerdil, peristiwa fitnah dan tuduhan yang dilontarkan oleh Bang Haji Rhoma tentu merupakan fitnah keji yang menjadi alasan bagi mereka untuk dendam kepada pelakunya. Tetapi hal ini tidak terjadi atau bukan karakter dari Jokowi-Ahok. Bagi kedua tokoh ini, kawan atau lawan adalah partner; mereka semua harus dirangkul dan diajak bicara untuk bersama-sama memikirkan jalan keluar atau mencari solusi terhadap semua masalah yang dihadapi rakyat Jakarta. Jokowi-Ahok membuktikan bahwa kedua pemimpin ini mampu merangkul semua pihak dan melupakan ego serta dendam pribadi mereka, termasuk tidak menyingkirkan pesaing atau lawan politiknya. Pada acara Jakarta Night Festival (JNF) menyambut datangnya tahun baru 2014, Jokowi-Ahok mengajak Rhoma Irama bernyanyi bersama dalam satu panggung untuk menyatakan bahwa tidak ada dendam diantara kita. "Mari kita bekerja bersama-sama untuk membangun Indonesia", begitu kira-kira kata Jokowi-Ahok kepada Rhoma Irama. Bila semua pemimpin dapat berlaku seperti Jokowi-Ahok, saling merangkul dan bekerjasama, Indonesia sebagai macan Asia dan kekuatan dunia akan mudah terwujud.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline