prioritasnews.com
Beberapa hari terakhir ini kita disuguhi berita tentang upaya mengembalikan Pilkada ke tangan DPRD. Untuk memuluskan upaya tersebut, pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Bila RUU ini benar-benar menjadi UU dan diundangkan, maka rakyat nantinya tidak bisa lagi memilih pemimpin mereka secara langsung seperti saat ini. Menurut Mendagri, Gamawan Fauzi, pilkada melalui perwakilan rakyat di DPRD adalah yang sesuai dengan UUD 1945. Pilkada ini juga akan menghemat biaya politik karena para calon yang maju tidak perlu lagi berkampanye kepada rakyat. Sang calon cukup menyampaikan visi dan misi di depan para anggota DPRD. Untuk referensi silahkan baca: ini. Pendapat Mendagri juga diamini Khatib Am Syuriah Pengurus Besar NU, Kyai Haji Malik Madani. Dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU 2012 belum lama, NU juga membahas tentang pilkada secara langsung yang diterapkan pemerintah saat ini. Pilkada model ini ditengarai oleh para ulama NU menjadi pemicu maraknya praktik politik uang di tengah masyarakat, selain juga menyebabkan konflik horisontal antar pendukung para calon. Bila kita menyimak alasan-alasan di atas, mengembalikan Pilkada ke tangan DPRD memang solusi yang tepat untuk mengurangi praktek politik uang, politik transaksional dan konflik horizontal. Akan tetapi Pilkada seperti ini akan meminimalisir atau bahkan menghilangkan partispasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya. Seperti kita ketahui, adalah bukan rahasia lagi bila aspirasi rakyat dan aspirasi anggota DPR/D yang notebene representasi rakyat sering bersebrangan. Banyak sekali bukti yang bisa diketengahkan untuk mendukung asumsi ini. Dalam sistem pemilihan yang diwakili DPR/D, suara rakyat sering diabaikan karena para anggota DPR/D memiliki agendanya sendiri-sendiri. Hal tersebut terjadi karena anggota DPR/D sangat rentan untuk "dibeli" oleh para calon pemimpin yang maju dalam Pilkada. Praktek ini sering kita saksikan di era Orde Baru dimana DPR/D memiliki keuasaan untuk memilih pemimpin rakyat, dan uang selalu lebih utama dibanding aspirasi rakyat. Akibatnya rakyat mengalami kesulitan untuk memegang komitmen dan konsistensi para anggota dewan untuk teguh menyalurkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Karena praktek kotor yang memuakkan tersebut, akhirnya, rakyat pun berontak dan terjadilah gerakan reformasi 1998 dimana hasil dari gerakan ini salah satunya adalah mengembalikan kedaulatan murni di tangan rakyat. Presiden, gubernur, bupati, walikota dan anggota DPR/D dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu/Pilkada. Bila saat ini ada upaya untuk kembali mempraktekkan Pilkada dengan "sistem Orde Baru", maka patut kita pertanyakan apa motif sebenarnya dibalik pembahasan RUU Pilkada. Adakah ini upaya DPR/D untuk membangun kembali kekuatan partai yang mulai diabaikan oleh rakyat? Atau upaya untuk mengembalikan wibawa para anggota DPR/D yang hancur dihadapan rakyat? Atau upaya para anggota DPR/D untuk menjadikan rakyat cukup sebagai penonton saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H