Turnover karyawan merupakan masalah yang signifikan bagi setiap perusahaan, salah satunya pada industri perhotelan. Di Indonesia, industri perhotelan memiliki permasalahan tingkat turnover karyawan yang juga tinggi. Andriani (2021) dalam penelitiannya menyatakan bahwa turnover karyawan hotel di Indonesia mencapai kisaran 11--38% per tahunnya.
Angka tersebut dikategorikan tinggi berdasarkan pernyataan Gillies (1989) yaitu adanya perputaran karyawan dapat dikategorikan normal jika berkisar 5--10% serta turnover tinggi jika melebihi 10% per tahun. Faktor perputaran karyawan masih menjadi masalah bagi perhotelan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan cukup tingginya angka keluar-masuk karyawan.
Turnover dapat diartikan sebagai keluarnya seorang karyawan dari perusahaan tempatnya bekerja (Dessler 2013). Turnover menurut Simamora (2004) adalah pemisahan diri yang dilakukan oleh karyawan dari organisasi yang dilakukan secara sukarela.
Bentuk turnover antara lain berupa : perpindahan keluar organisasi, pengunduran diri, pemberhentian ataupun kematian anggota organisasi. Terdapat 2 jenis turnover yaitu turnover secara tidak sukarela (involuntary) dan turnover secara sukarela (voluntary). Menurut Shaw (2011) baik voluntary maupun involuntary pegawai yang meninggalkan organisasi dihitung sebagai turnover, meliputi berhenti, diberhentikan, mengundurkan diri atau dipecat.
Turnover merupakan hal yang sangat dihindari oleh setiap perusahaan, apalagi dengan angka turnover yang cukup tinggi pada perusahaan itu sendiri karena akan memberikan dampak secara langsung terhadap perusahaan.
Menurut Perez pada Marwansyah (2020) terdapat tiga dampak turnover yaitu organizational cost, operational disruption, dan demoralization of organizational membership.
Organizational cost adalah biaya untuk uang pesangon, administratif yang terkait dengan penghentian, dan tentunya biaya juga waktu untuk melakukan exit interview (separation cost).
Untuk menggantikan posisi karyawan yang keluar, perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk melakukan rekrutmen dengan memasang iklan lowongan kerja dan interview karyawan masuk (replacement cost). Tidak hanya itu, dibutuhkan biaya untuk melakukan training karyawan baru (training cost).
Operational disruption adalah gangguan operasional terjadi ketika tingginya tingkat ketergantungan peran kerja pada perusahaan. Adanya karyawan yang keluar, perusahaan harus menempatkan karyawan lain untuk mengisi posisi kosong karena hal tersebut. Namun yang dapat menjadi masalah adalah ketika belum ada karyawan yang mampu untuk mengerjakan pekerjaan posisi tersebut sehingga perusahaan harus melakukan back up.
Demoralization of organizational membership adalah adanya hal yang dapat memicu sentimen dengan karyawan lain yang masih bertahan di perusahaan, seperti mempertanyakan mereka mengenai motivasi apa yang membuat mereka dapat bertahan di perusahaan.