Lihat ke Halaman Asli

Kecipak Dua Pasang Bibir Wanita

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jagad Dewa Bathara!

Mulutnya ternganga. Napasnya tertahan. Tak dinyana, tak disangka. Begitu bisiknya dalam hati. Bergas hanya bergumam dalam hati. Di matanya, wajah ayu dari gadis ranum berambut pirang itu ternyata menyimpan segudang rahasia. Di matanya, tidak ada yang terlalu istimewa dari sosok yang berisi ini. Kulitnya putih cerah, tanpa bintik-bintik yang biasa ditemukan dalam kulit orang Kaukasia. Tidak blirik, putih bersih tidak bercacat. Kedua matanya lembut, bahkan sedikit redup. Seperti wajah orang-orang Barat pada umumnya, sinar wajahnya mencerminkan kedewasaan. Tidak hanya kedewasaan biologis belaka, tetapi pancaran mata penuh kepastian. Pancaran percaya diri. Pancaran keyakinan akan penguasaan masa depan. Sementara, barangkali usianya sendiri belum genap 22 tahun. Paling jauh masih duduk di tahun ketiga, atau tahun yunior.

Perhatiannya terfokus pada keyboard komputer. Kedua matanya tajam mengamati kata demi kata yang tertulis pada layar. Dua kali Bergas melewati sampingnya, tampak tidak ada gangguan sama sekali. Gadis ranum itu sama sekali tidak tergoyahkan konsentrasinya. Bergas sendiri seperti biasanya duduk di barisan komputer paling belakang. Tidak ada yang lebih istimewa dari kursi tinggi yang lebih nyaman dari jenis kursi-kursi lain. Dan jenis kursi itu hanya terletak di bagian paling belakang. Praktis Bergas pun menjadi saksi mata atas apa yang terjadi di depannya.

Lalu lalang mahasiswa yang masuk ke ruangan itu tidak ada yang lepas dari lirikan matanya. Sekalipun pikirannya dicoba dipaksakan untuk menyelesaikan satu tulisan yang harus dikumpulkan 24 jam kemudian, namun tetap saja dia tidak bisa menutup berbagai rangsangan inderawi yang ada di sekelilingnya. Begitu juga sewaktu dua gadis semampai masuk. Dengan kurang lebih 170 cm, dua gadis itu tetap terasa menjulang bagi Bergas yang tingginya tidak lebih dari 165 cm. Salah satu gadis itu berambut hitam, memanjang sampai punggung. Hidungnya mancung, kedua matanya tajam, dengan alis lembut dan rapi. Dagunya yang lancip menambah kesan lembut namun sekaligus tajam.

Yang membuat Bergas tersirap bukan karena pesona kecantikannya. Dengan usia memasuki kepala tiga ini, Bergas merasa tidak terlalu mudah untuk menjatuhkan penilaian “cantik” hanya sekali bertemu. Kata “cantik” dalam kosa kata Bergas mendapatkan makna yang sedikit mendalam. Di sana mesti ada kelembutan, ada semangat untuk memahami. Cantik lebih dari sekedar makna ragawi. Jadi kata cantik tidak bisa diumbar. Bergas juga tidak menggunakan istilah cantik sebagaimana seorang Amien Rais menggunakannya dalam bahasa politik jaman geger-gegeran lebih dari satu dekade yang lalu.

Tanpa ba-bi-bu, gadis berambut hitam, berdagu lancip, dan bermata indah itu langsung mendaratkan bibir merahnya pada gadis berambut pirang yang ranum itu. Bukan kecupan biasa. Itu kecupan gelora nafsu. Bunyi kecupan mengisi ruangan. Suaranya mungkin tidak terlalu berarti, karena langsung tertelan oleh bunyi tarian jari di atas keyboard. Namun, bunyi kecupan itu membawa Bergas ke awang-awang. Bunyi itu, pertemuan dua bibir sesama wanita itu, tidak hanya menyibakkan tabir tabu di dalam angan Bergas. Tabu yang diyakininya. Tabu yang diajarkan oleh nenek moyangnya. Hubungan sesama jenis sebagai hal terkutuk.

Cerita Sodom dan Gomorah dalam Kitab Suci Perjanjian Lama mengingatkan akan bencana besar dari Tuhan yang “muak” karena perilaku menyimpang manusia. Hujan api dan belerang diturunkah Tuhan karena perilaku orang-orang di dua kota yang mengembangkan perilaku seksual aneh. Dari situ lah tatanan dan konsep tabu diturunkan. Hubungan sesama jenis diharamkan. Ketertarikan sesama jenis adalah salah satu bentuk penyelewangan kodrat yang paling hina.

Bergas merasakan tamparan terhadap kesadarannya. Benarkah ajaran Kitab Suci yang menggambarkan kemurkaan Tuhan sebagai tanggapan atas perilaku manusia yang menyimpang itu? Apakah seseorang yang karena secara kejiwaan memiliki hati yang terluka hingga mengalami kemuakan dan rasa jijik dengan lawan jenisnya pantas disalahkan begitu saja? Bagaimana dengan seseorang yang dilahirkan sebagai seorang wanita tetapi justru di dalam tubuhnya sendiri yang lebih berkuasa hormon testosteronnya? Justru hormon kelelakian yang membuatnya tidak lagi tertarik pada para lelaki yang memang telah memiliki kesamaan dengan dirinya?

Bunyi kecupan dua bibir sesama jenis di depannya masih terngiang. Bergas menjadi ragu. Kitab Suci adalah buah dari permenungan spiritual yang terjadi tidak hanya pada titik sejarah tertentu. Tetapi Kitab Suci merupakan butir-butir permenungan dari pengalaman beratus-ratus generasi dalam sejarah kemanusiaan itu. Kesadaran kolektif yang dialami manusia tidak pernah mandeg, tetapi justru mengalami transformasi. Menyalahkan seseorang karena seseorang tersebut menjadi seorang homoseksual sama halnya menimpakan seonggok tahi kuda pada seseorang yang telah terpelanting jatuh dan kakinya patah. Bahwa dia terpelanting jatuh dan mengakibatkan kakinya patah itu tentunya sudah menjadi beban yang berat. Namun, bukankah dengan menimpakan kesalahan kepadanya sama halnya dengan menaruh seonggok tahi kuda ke mukanya?

Bergas tercenung. Di hati kecilnya, ada simpati.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline