Lihat ke Halaman Asli

Yang Salah dari Wacana Diskontinuitas Politik

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_162055" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock.com)"][/caption] Dalam dunia politik, wacana perubahan selalu menjadi slogan manis yang meninabobokkan. Barack Obama membuat slogan “yes, we can!” yang begitu membahana, menyihir jutaan penggemarnya di seluruh dunia. Negeri Paman Sam dipenuhi dengan orang-orang yang frustrasi: dua perang yang tidak segera usai (Iraq dan Afganistan), krisis ekonomi terparah dalam tujuh puluh tahun terakhir. Administrasi Bush Jr. telah membawa tingkat kemuakan tak tertahankan, dan hadirnya Presiden baru yang segar, kharismatis, dan enerjik serta “humanis” sangat dirindukan. Obama tampil dengan agresivitas dan rasa percaya diri khas Amerika. Kemenangan atas rival John McCain tercatat sebagai salah satu kemenangan dengan margin terbesar dalam sejarah politik Amerika. Namun apa yang terjadi? Alih-alih membawa perubahan drastis yang dijanjikan, kondisi ekonomi di Amerika Serikat masih melempem. Memang, tangan dingin seorang Steve Bernanke yang menjabat sebagai Kepala Keuangan Federal telah menjinakkan keganasan krisis ekonomi. Investasi profesionalnya sebagai profesor dalam memahami kegagalan pemerintah Federal pada Depresi Besar tahun 1929 telah memberanikannya membuat terobosan-terobosan yang telah menyelamatkan ekonomi Amerika dari jurang kehancuran sistemik yang lebih parah. Keputusan-keputusannya untuk menalangi sejumlah usaha bermasalah telah sedikit menjauhkan negara adikuasa ini dari jurang depresi yang mengerikan. Namun, yang namanya stagnasi ekonomi akibat kesalahan sistemik gelembung-gelembung perekonomin penuh kepalsuan sangat sulit untuk digerakkan kembali. Angka pengangguran mencapai lebih dari dua digit. Dalam sebuah negara yang didasarkan pada model kapitalisme macam ini, satu kemacetan di salah satu sudut perekonomian telah membuat raksasa ini limbung tidak karuan. Orang-orang yang tidak segera mendapatkan pekerjaan makin frustrasi saja. Kesabaran ada batasnya. Kalau ada yang membuat wajah Obama makin tercoreng, itu tidak lain dan tidak bukan adalah kata-katanya sendiri. Kecelakaan pengeboran minyak oleh British Petroleum (BP) di Teluk Meksiko telah membuka borok akan “wacana diskontinuitas” bombastis dari sang presiden. Salah satu “salah omong” dari sang Presiden adalah ketika dia berulang-ulang mengklaim “tidak akan mengulangi kesalahan yang sama” dari rejim sebelumnya. Banyak praktek-praktek seperti menghilangkan kaum lobbyists yang banyak berkeliaran di Konggres akan dihabisi. Obama akan sama sekali menuliskan sejarah aturan main yang baru yang bertolak belakang dengan sistem administrasi Bush yang telah membawa Amerika ke dalam keterpurukan. Apakah memang demikian halnya yang terjadi? Krisis BP ternyata mengungkap borok bahwa janji muluk-muluk tidak lebih dari sekedar retorika belaka. Akhirnya terkuak juga bahwa praktek-praktek lama yang hendak dihilangkan masih jadi berjalan dengan mulusnya. Kabinet Obama pun lebih menjalankan apa yang sudah biasa dilakukan oleh kabinet-kabinet sebelumnya. BP mendapat konsesi pengeboran minyak di Teluk Mexico dengan pengecualian prosedural tertentu – hal yang bisa dilakukan di antara kongsi-kongsi yang dekat dengan kekuasaan. Dan ini yang melakukan tidak lain dan tidak bukan adalah anak buah Obama. Stop, saya tidak hendak mengajukan analisis tentang dampak politis Obama dan nasib para senator Demokrat dalam pemilihan November depan. Terus-terang, saya tidak punya kapasitas untuk memberi analisis lebih banyak lagi. Yang hendak saya angkat justru fakta “wacana diskontinuitas politis” yang sering digembar-gemborkan oleh para penguasa di manapun. Banyak janji-janji manis dari para calon eksekutif dan juga legislatif agar mereka terpilih. Namun, tampaknya kita sebagai rakyat jelata, dengan cepat akan menjumpai bahwa janji-janji tersebut tidak lebih dari pepesan kosong yang tidak ada isinya! Memaknai perubahan dalam arti sesungguhnya menuntut tidak hanya sekedar retorika dan semangat menggebu dari sejumlah actor sejarah tertentu. Para systems thinkers telah mengajarkan bahwa perubahan substatif yang berkesinambungan tidak pernah terjadi secara tiba-tiba dan drastis. Perubahan drastis tidak lain hanya pada tataran kulit luarnya: sementara keyakinan-keyakinan dasar, perilaku, kebiasaan, dan cara-cara memandang persoalan dan memecahkannya masih sama persis dengan yang dulu. Perubahan substantif terjadi secara diam-diam, begitu lambat, dan hanya sedikit orang dengan ketajaman analisis saja yang mampu mencernanya. Publik biasanya akan mudah tertipu oleh haru-biru suara-suara dan celotehan dari berbagai pihak yang mengumandangkan gaung tanpa jelas maknanya. Perubahan substansial terjadi justru melalui pembentukan yang lembut, didukung oleh berbagai pengalaman kecil yang terakumulasi secara berkelanjutan dari waktu ke waktu. Berdasarkan cognitive science, seseorang mencapai tingkat suatu keahlian tertentu dalam bidangnya setelah mereka mengalami proses pembentukan selama 10.000 jam. Seorang Bill Gates cukup beruntung karena semenjak usia SMP dia telah menghabiskan waktu-waktu akhir pekannya di pusat komputer sekolahnya. Dia mengutak-utik program selama lebih dari delapan tahun: delapan jam sehari, enam hari seminggu, 50 minggu dalam setahun. Dia adalah satu-satunya orang yang paling tepat ketika dibutuhkan programmer DOS waktu itu. Steve Jobs – bos dari Apple Computer – sudah semenjak kecil menghabiskan waktu di toko loak dan utak-atik barang-barang elektronik di salah satu kantor di Silicon Valley. Dua orang itu menghabiskan waktu yang sangat panjang untuk benar-benar menempa diri dan menyiapkan diri menjadi dua icons yang paling menentukan dalam sejarah industri komputer di Amerika. Dapat disimpulkan bahwa dalam konteks pribadi, penguasaan suatu keterampilan dan pemahaman yang mendalam tentang seluk beluk suatu seni atau produk tertentu membutuhkan waktu panjang untuk sampai benar-benar mengarahkan seseorang menjadi salah seorang ahli di bidangnya. Hal yang sama pun terjadi dalam lingkup organisasional. Upaya membawa perubahan tidak akan pernah bisa dilakukan secara drastis – hanya dengan slogan-slogan “diskontinuitas” seperti yang digembar-gemborkan oleh para politisi. Komunitas pembelajar mau tidak mau harus terus belajar dan mengembangkan kapasitas dan sikap dasar untuk belajar dan belajar. Orang berubah bukan hanya karena disuruh-suruh oleh orang kharismatis. Berubah butuh capacity building baik pada tingkat personal maupun institusional. Pesan untuk kita semua jelas: pahami bahwa untuk mencapai suatu prestasi tidak ringan. NO PAIN NO GAIN! Usaha keras, motivas tinggi, konsistensi dalam berjibaku, dan keyakinan diri akan mencapai suatu hal yang baik merupakan komponen dasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline