Lihat ke Halaman Asli

Makin Awal Anak Dikenalkan Bahasa Inggris Makin Baik Hasilnya? Ah Bohong!

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_111026" align="aligncenter" width="278" caption="www.kids2success.com.au"][/caption]

“Budi, dengar ya, kamu mesti ngajarin Rio bahasa Inggris mulai sekarang,” kata Erin, sambil menepuk punggungku.

Erin, wanita kelahiran New Hampshire ini, lebih memilih memanggilku “Budi”, bukan Markus. Baginya, nama ini lebih nyaman di telinganya. Telah beberapa tahun dia bekerja di beberapa kota di Indonesia, sebagai wakil UNICEF. Tidak mengherankan, dia lebih menyukai nama Budi.

“Tapi kan aku tidak di rumah sekarang. Padahal Rio baru akan menemukan proses pembelajaran sebagai sesuatu yang bermakna kalau ada interaksi dengan diriku dalam Bahasa Inggris di rumah. Istriku tidak memakai Bahasa Inggris di rumah,” aku menyanggah.

“Tidakkah kamu tahu tentang hipotesis periode kritis? Semakin muda anak dikenalkan pada bahasa asing, semakin tinggi peluangnya untuk mengembangkan bahasa tersebut secara jauh lebih baik di masa-masa selanjutnya,” katanya menjelaskan.

“Ya, itu kan yang memakai teori ‘brain plasticity’ dari Lennenberg kan?” aku tidak mau kalah.

“Bagiku, hipotesis ya tetap hipotesis. Artinya sekedar jawaban sementara dari suatu fenomena yang teridentifikasi. Dan penjelasan yang dipakai dasar hipotesis itu pun masih bersifat teoretis, belum empiris. Dikatakan bahwa proses sebelum usia remaja, otak kiri dan kanan masih bersifat plastis – artinya belum mengalami “pengerasan” atau myelinasi. Ya kalau penjelasan teoretis itu benar, kalau salah? Masak mau dipercaya?” aku agak ngotot. Barangkali terdengar agak nyinyir juga.

“Tapi dari berbagai literatur yang aku baca, semua toh mendukung hipotesis itu,” Erin pun tidak mau menyerah begitu saja.

Setelah agak lama diam dalam lamunannya masing-masing, dia pun berkata, “Oke deh, terserah kamu nantinya. Pesanku sederhana, kamu baru dikatakan sebagai bapak yang bertanggung jawab kalau memberikan yang terbaik bagi Rio. Dan itu sama artinya mulai mengajari Bahasa Inggris mulai sekarang.”

Ih ngotot amat sih si Erin ini!

***

Sebelum ditempatkan di tempat baru, untuk sementara Erin bertindak sebagai profesor di sebuah kampus elit di East Coast, tepatnya di Boston College, Boston, Massachusetts. Kehadirannya ke Chicago tidak lain dan tidak bukan untuk menjemput sang suami – yang kebetulan menjadi roommate di Apt. No. 2404 ini. Setelah lama tidak menikmati masakan Indonesia, dia mencicipi masakanku. Dan katanya, rasanya mengingatkan kembali kenangan-kenangan indah selama di Indonesia. Sembari pulang ke New Hampshire, aku berikan kepadanya satu kotak teh Tong Tji kesukaanku.

***

Ketidak-setujuanku terhadap pengajaran Bahasa Inggris pada anak-anak di usia dini sebenarnya salah satunya dipicu oleh studi dalam “brain research”. Dikatakan bahwa hipotesis “critical period” seperti yang telah diutarakan sebelumnya memang tidak mendapatkan dukungan bukti-bukti empiris yang memadai. Artinya, gagasan bahwa semakin awal anak kecil dikenalkan bahasa asing akan berdampak pada hasil yang lebih baik, belum tentu benar. Sebagai gantinya, riset dalam bidang itu mengusulkan bukan semata-mata pada titik awalnya pengenalan bahasa asing, melainkan justru pada intensitas interaksi dalam menggunakan bahasa itu sebagai sarana komunikasi.

Namun bukan manusia kalau tidak mengalami perubahan dan perkembangan. Apa yang kita anggap benardi suatu waktu, di lain kesempatan bisa kita anggap tidak lagi tepat. Apa yang semula baik, akhirnya dinilai tidak lagi baik. Kehidupan memang penuh dinamika, dan kemampuan untuk menikmati dinamika, sembari tetap mempertahankan upaya untuk mengembangkan diri secara optimal, adalah ciri orang yang tanggap terhadap tuntutan realitas. Dan aku pun, mengalami proses transformasi ini.

Aku mengalami berbagai proses yang menyenangkan dan penuh potensi dalam interaksi dengan sang anak. Batasan ruang dan waktu toh tidak mengurangi intensitas komunikasi antara aku sebagai orang tua dengan Rio sebagai anak. Perjumpaan dalam dunia maya yang memungkinkan interaksi intensif ternyata memberi banyak kemungkinan. Seperti yang telah aku tulis dalam beberapa tulisan sebelumnya, aku memang mengembangkan berbagai cara untuk membantu perkembangan Rio. Mulai dari menulis jurnal bersama, membuat presentasi powerpoint tentang berbagai binatang dan benda-benda sekeliling, sampai yang terakhir kuis-kuisan. Semuanya merupakan saranan untuk komunikasi intensif, baik melalui yahoo messenger maupun skype.

Namun, seperti yang pernah aku tulis sebelumnya, tidak mungkin lah mempertahankan satu cara atau metode pendampingan. Harus ditemukan juga cara-cara yang menarik dan menantang, baik bagi diriku maupun Rio. Setelah mengalami tingkat kejenuhan dengan main kuis-kuisan, akhirnya aku melihat peluang untuk belajar bahasa Inggris. Demikian caraku belajar bersama Rio. Setelah melihat contoh pertama, Rio kemudian melanjutkan dengan menjawab titik-titik berikutnya.

Slow = lambat

Slower = lebih lambat

Fast = cepat

Faster = …..

Memang tidak banyak kata baru yang aku kenalkan sebagai pelajaran pertama. Tercatat ada sejumlah one-syllable comparatives sebagai berikut: quick, small, heavy, high, tough, bright, light, dan broad. Sepuluh kata cukuplah. Dan aku tidak memaksa Rio untuk menghafal, tetapi mengajaknya untuk bermain-main. Kalau dia lupa lagi dengan kata-kata itu, ya tidak apa-apa. Yang jelas, aku mengenalkan satu aturan, kalau ditambah –er, kata-kata itu artinya “lebih”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline