Lihat ke Halaman Asli

UN: Kemanakah Nurani Diknas?

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

UN hampir tiba. Tulisan ini sudah agak lama saya tulis. Namun esensinya masih  kita jumpai bahkan sampai hari ini. Konteks tiga tahun lalu yang melatarbelakangi tulisan ini pun masih relevan. Apalagi, perang "di dalam" - antara dua kubu antara kelompok para ahli pengembang kurikulum dan kelompok para ahli pengembang ujian (testing) di dalam Diknas pun tampaknya masih terus berlanjut secara menggebu bahkan sampai hari ini. Semoga menambah sedikit wawasan.  Selamat membaca!

[caption id="" align="alignleft" width="193" caption="source: sitemaker.umich.edu "][/caption]

***

Ke-58 anggota Education Forum yang mengajukan gugatan (citizen lawsuit) terhadap pemerintah sehubungan dengan ketidakadilan yang mereka rasakan sebagai akibat kebijakan Ujian Nasional (UN) boleh berteriak gembira. Gugatan mereka dikabulkan (22 Mei 2007). Dalam putusannya, pengadilan menilai pemerintah telah lalai memenuhi hak asasi anak di bidang penddiikan. Disamping itu juga, sebelum UN digelar, pemerintah wajib meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta meninjau ulang sistem pendidikan nasional saat ini. Namun rupanya, sikap gembira dalam menyikapi kemenangan itu bisa saja berakhir dengan kehampaan. Menanggapi keputusan itu, Mendiknas bersikukuh untuk terus akan mempertahankan UN (the Jakarta Post, 23 Mei 2007).

Korban target politik jangka pendek

Dari tinjauan sosiologis kritis, keputusan mempertahankan UN sebagai alat ukur keberhasilan belajar secara nasional adalah hal wajar. Pemerintah mempunyai alasan untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh, serta apa yang layak dan tidak layak. Persoalan yang sering muncul adalah ketika kebijakan publik cenderung berorientasi pada pencapaian target-target politik jangka pendek. Kita terlalu sering mendengar celotehan "ganti menteri pendidikan, pasti akan ganti kurikulum." Fenomena macam ini tidak lain adalah manifestasi dari target-target politik jangka pendek dari pemimpin politik yang sedang berkuasa.

Kasus UN pun juga demikian halnya. Keberhasilan belajar dalam angka statistik selalu menakjubkan. Seakan-akan, semakin tinggi standar angka kelulusan, kita diyakinkan untuk percaya bahwa kualitas pendidikan yang begitu kompleks sudah membaik dengan sendirinya. Catatan-catatan numerik statistik sebagai alat propaganda bahwa pemerintah telah berbuat "benar dan baik" menjadi alat pengesah yang ampuh dari pemerintah.

Dilihat dari proses pembelajaran UN memang membawa dua dampak negatif yang sangat serius. Pertama, UN menjauhkan siswa dari pengalaman pembelajaran yang membebaskan (liberatory). Demi mencapai tujuan "angka skor minimal," berbagai upaya dilakukan, seperti menghafal, dan drill soal-soal ujian di masa lalu. Berbagai pihak di luar murid, seperti orang tua, sekolah, dan bahkan Diknas pun terjebak dalam sindroma seperti ini. Seperti yang sudah didiskusikan di banyak tempat, bahkan banyak sekolah yang menyewa instruktur-instruktur bimbingan belajar untuk melatih para siswanya mengerjakan soal-soal ujian.

Padahal, anak sudah semestinya mengalami pembelajaran yang betul-betul mampu membekali mereka dalam hidup. Hafalan jangka pendek tidak cukup membekali anak untuk memecahkan persoalan hidup yang sangat kompleks. Karena terbiasa distimulasi dengan soal-soal ujian, anak tidak dilatih untuk bereksplorasi, mencari koneksi atas berbagai fenomena, kreatif dan kritis serta adaptif.

Kedua, UN juga menjadi alat yang paling tepat untuk menjauhkan anak didik dari nilai-nilai kejujuran, semangat kerja keras, berani bertanggung jawab, dan ketekunan. Berbagai pelanggaran yang terjadi di sana-sini yang dilakukan baik secara terang-terangan maupun tersembunyi oleh berbagai pihak terkait, jelas-jelas mengajarkan pada siswa tentang tidak perlunya integritas dalam hidup ini.

Singkat kata, dengan dua dampak negatif yang akhirnya justru berakibat pada runtuhnya nilai-nilai yang hendak diperjuangkan oleh pendidikan sendiri, akankah pemerintah berani bertindak "strategis?" Tentu, makna "strategis" di sini harus dimengerti dari kacamata kepentingan siswa, bukan kepentingan propaganda politis semata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline