Lihat ke Halaman Asli

Ajari Anak Nulis Semenjak Kecil!

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_114403" align="aligncenter" width="369" caption="source: www.sde.ct.gov"][/caption]

Bagaimana cara mengajari anak membaca dan menulis? Pertanyaan macam ini berkali-kali sudah saya ajukan dalam berbagai tulisan yang saya publikasikan dalam Kompasiana ini. Ada begitu banyak cara untuk melakukannya. Namun, salah satu prinsip dasar yang tidak pernah boleh ditinggalkan adalah pentingnya orang tua menunjukkan perilaku membaca dan menulis. Kegiatan literasi macamini harus benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dalam keluarga. Memang, yang saya jalankan tidak lah sesuatu yang sangat istimewa, namun barangkali baik juga untuk diujicobakan bersama anak tercinta di rumah: di sela-sela kesibukan pekerjaan, dan tanggung jawab mengurusi rumah. Dalam tulisan saya sebelumnya, saya mengajukan pentingnya pendekatan holistik untuk pendidikan keterampilan baca-tulis anak.

Pendekatan holistik berbeda dengan pendekatan analitis, karena pertama-tama anak dikenalkan dengan kegiatan baca tulis melalui pelibatan langsung dengan kegiatan baca-tulis. Sekalipun anak belum mampu mengidentifikasi huruf-huruf, dia mesti dikenalkan dengan kegiatan membaca secara fungsional. Bahwa membaca memiliki peran dan makna tertentu. Suatu buku menyimpan cerita di dalamnya. Bahwa ilustrasi dalam buku itu dapat dijelaskan melalui tulisan-tulisan yang ada di dalam buku itu. Pendekatan analitis lebih mengedepankan penguasaan huruf-huruf. Huruf-huruf tersebut dirangkai untuk membentuk kata. Sekumpulan kata membentuk frase, dan beberapa frase membentuk klausa atau kalimat dan seterusnya. Pendekatan analitis didasarkan pada konsepsi struktural.

Kedua pendekatan itu sama pentingnya. Namun yang lebih mendasar untuk dikenalkan sebagai fondasi fundamental keterampilan baca-tulis yang produktif mestinya yang bersifat holistik. Pendekatan ini jauh lebih manusiawi, karena orang tua sendiri lah yang turun tangan. Orang tua tidak sekedar memerintahkan anak untuk belajar membaca, tapi benar-benar memberi pendampingan yang luar biasa. Tentu saja sembari memberi contoh nyata.Semenjak usia dua tahun, Rio telah dilibatkan dalam proses literasi demikian ini. Mamanya sering membacakan buku. Dan pada usia empat tahun, saya kenalkan dengan kegiatan menulis jurnal. Jurnal harian ini saya tulis di atas papan tulis: satu kalimat demi satu kalimat saya tulis. Begitu satu kalimat selesai, saya mengundang Rio untuk membacanya. Begitu seterusnya. Berulang-ulang. Setelah satu cerita selesai, saya pun mengetiknya, dan akhirnya menyimpannya. Berikut ini. Berikut ini sebuah jornal yang saya tulis tanggal 6 Agustus 2009.

***

Tidak bisa jalan kaki

“Sebentar, tunggu dulu! Jangan lari!” Mama berseru. Suara nyaring Mama mengingatkan Rio untuk berjalan pelan seakan tercekik oleh rasa kaget yang terama t sangat. Seperti biasa, Rio tidak mengenal jalan kaki. Tampaknya, Rio hanya mengenal berlari dan berlari. Melompat dan meloncat. Di rumah begitu. Di sekolah pun begitu. Bapak dan Mama sudah lebih dari sekedar memahaminya. Hanya saja, kali ini lain. Rio melakukannya di jalan umum. Sehabis potong rambut, Mama dan Rio pergi ke Toko Kuning yang terletak berseberangan dengan Salon Jo. Bapak sendiri menunggu di atas motor, masih di depan Salon Jo.Waktu berangkat, Rio masih mau digandeng. Tangannya dipegang kuat-kuat oleh Mamanya. Begitu pulang, lain ceritanya. Kedua tangan Mama memegang belanjaan. Dan Rio sudah menemukan kebebasannya. Matanya menatap ke depan, lurus. Tanpa menoleh kiri dan kanan, Rio langsung mengambil sikap berlari dengan kecepatan tinggi. Hati Bapak dan Mama serentak teriris! Terkesiap dan tak percaya, dan Bapak pun tidak berani menoleh ke arah kiri dan kanan. Apa jadinya kalau ada motor yang berkecapatan tinggi? Tubuh Rio tidak berbeda dengan daun segar yang kena api. Layu … dan tidak terbayangkan akibatnya. Bapak dan Mama hanya punya satu pilihan: memarahi Rio. “Kenapa Rio tampak semakin bodoh saja? Apa gunanya ke sekolah kalau makin sulit dikasih tahu? Ya sudahlah, besok Bapak dan Mama tidak perlu lagi susah-sudah mengantar ke sekolah. Enak sekali, tinggal di rumah!” Bagi Rio, pergi ke sekolah adalah sebuah kegembiraan yang tidak tergantikan. Ancaman berhenti sekolah tampaknya membuat Rio sedikit mendengarkan. Dengan pelan dia berusaha membela diri, “Aku kan cuma berlari, ingin segera sampai di tempat Bapak! Aku harus bersekolah!” “Rio tidak punya pilihan lain,” lanjut Bapak. “Kalau mau bersekolah, Rio wajib … coba dengar baik-baik … W A J I B … mendengarkan peringatan Mama. Kalau mau menyeberang jalan, berhenti sebentar. Tengok kiri dan kanan. Kalau ada motor atau kendaraan lain, Rio harus berhenti. Kalau kosong, silahkan baru jalan.” Nada peringatan Bapak memang agak keras. Namun Rio sama sekali tidak menangis. Barangkali Rio menyadari kesalahannya. Satu pelajaran berharga telah diperoleh sore hari kemarin.

***

Tulisan ini saya tulis sesudah peristiwa itu terjadi. Sekalian menjadi kesempatan pembelajaran dari apa yang telah dilalui. Karena pengalaman yang banyak terkait dengan keterampilan berbahasa ini, saya yakin, anak saya tidak akan terlalu kesulitan dalam proses pembelajaran di sekolah nanti.

Mau mencoba?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline