[caption id="attachment_82699" align="alignleft" width="286" caption="source: lit.sd73.bc.ca"][/caption]
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari Belajar Baca: Holistik Vs Analitik (1)
Romo Mangun membuat aturan main yang jelas di SD Kanisius Eksperimental Mangunan. “Biasakan anak membaca cerita-cerita heroik dari orang-orang yang tercatat dalam sejarah sebagai orang besar!” Dengan kata lain, Romo Mangun memandang rendah cerita-cerita sinetron melodramatis cengeng yang basah kuyup oleh air mata. Ya, Romo Mangun satu gagasan dengan Albert Bandura. Apa yang kita saksikan sehari-hari, akan menjadi kebenaran yang kita yakini – entah sadar atau tidak, entah kita setujui atau tidak. Anak pun demikian juga. Ini berlaku untuk hal sekompleks terbentuknya rasa percaya diri (self-esteem dan self-efficacy), dan hal “sesederhana” keterampilan membaca – menulis. Kalau anak sudah dibiasakan untuk memahami hakekat literasi dalam kehidupan manusia dewasa, anak akan meyakini bahwa kegiatan baca-tulis merupakan bagian tidak terpisahkan dalam hidupnya. Orang tua yang tidak membaca secara reguler akan tidak cukup memberi model yang cukup bagi anak. Tetapi orang tua yang membaca secara reguler, dan bergelut dengan buku dari waktu ke waktu, akan menjadi contoh nyata mengenai makna penting kegiatan baca-tulis tersebut.
Salah satu persoalan umum yang biasa terulang dalam banyak keluarga adalah proses pembelajaran yang tidak komprehensif ini. Anak pertama-tama dikenalkan dengan huruf-huruf saja. Diajari mengeja kata-kata sederhana lebih dulu. Kegiatan seperti itu berulang-ulang terus. Ketika anak tidak bisa berkonsentrasi, orang tua dongkol. Tentu saja cara ‘drill’ macam ini tidak sepenuhnya salah. Namun kurang membantu anak. Mengapa? Anak membutuhkan pemahaman yang menyeluruh tentang makna penting kegiatan membaca dan menulis. Semakin dini anak dibacakan buku cerita, semakin mudah dia untuk memaknai arti penting kegiatan baca tulis. Anak-anak menikmati kegiatan yang mekanis berulang-ulang. Membacakan satu buku cerita berkali-kali merupakan salah satu cara bagi anak untuk mengenali hakekat literasi.
Pendekatan macam ini memang melelahkan. Karena orang tua harus benar-benar meluangkan waktu untuk benar-benar mampu mendampingi putra-putrinya. Namun, sebenarnya, harga mahal itu dengan sendirinya akan terbayar lunas dengan melihat putra-putri kecil yang menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi. Apalagi untuk apakah perjuangan keras orang tua kalau ternyata anak yang dikasihi justru mengalami kesulitan dalam studinya? *** Dalam usia 4.5 tahun, Rio sudah bisa membaca dan menulis. Sebagai orang tua, kami tidak bermimpi dia akan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Biarlah dia berkembang seperti apa adanya. Namun, sebagai orang tua, kami memang benar-benar peduli dengan kebutuhan dia. Ungkapan marah dari orang tua memang diperlukan. Namun, ungkapan itu tidak untuk menunjukkan ketidakmampuan anak. Ungkapan itu lebih sebagai bentuk kepedulian. Barangkali itu yang membedakan dua rumah yang bersebelahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H