Lihat ke Halaman Asli

Lawanlah Habis-habisan Musuh-Musuhmu!

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Masih terkait dengan hakekat Disiplin Kelima: Systems Thinking dan Fakta-fakta Paradoksal Kehidupan: Bersiap dengan Kemungkinan Terburuk yang menjadi tema beberapa hari terakhir, aku akan membicarakan satu aspek lain yang terkait. Kali ini lebih memberi gambaran bagaimana "systems thinking" yang sebenarnya kental dalam Filsafat Timur akhirnya diterima, atau bahkan diambil oleh Filsafat Barat. Filsafat Timur lebih bermuara pada berbagai upaya untuk mencari harmonisasi:  kedamaian dengan alam, diri sendiri, dan sesama. Cita-cita dasar yang diperjuangkan ini mengatasi semangat dasar yang menggerakkan Filsafat Barat, yang cenderung menguasai, eksplorasi tanpa henti, dan lima abad sesudah Jaman Pencerahan, telah memunculkan perkembangan ilmu yang radikal dan sekaligus telah membawa dehumanisasi. Hari ini, kesadaran ekologis yang lebih mengutamakan keseimbangan alam semesta telah masuk ke dalam kurikulum sekolah. [caption id="attachment_134247" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] McNeil (2009) mencatat bahwa kurikulum ilmu alam era pra 1970-an di Amerika lebih ditandai oleh dua hal pokok. Pertama, fokus pembelajaran yang terlalu spesialis, sehingga tema-tema yang diajarkan pun terlalu rumit bagi kebayakan siswa. Akibatnya bisa diduga, hanya sedikit sekali siswa yang mampu mempelajarinya. Pendidikan elitis sangat terasa pada waktu itu. Kedua, akibat idealisme eksploratif (ruang angkasa), dan juga di bawah bayang-bayang Perang Dingin, para ilmuwan lebih mengutamakan pengembangan teknologi ambisius. Pada waktu yang sama, berbagai dampak teknologi yang berimbas secara negatif terhadap keberlangsungan hidup manusia sangat jarang dipedulikan. Isu-isu polusi air, udara, dan lingkungan pada umumnya merupakan ilmu basi yang kalah mentereng dengan pengembangan persenjataan canggih dan penerbangan ruang angkasa. Namun, kondisi bumi pun sangat rentan dengan perilaku manusia: sumber-sumber alamnya yang terbatas, peningkatan populasi manusia yang juga menuntut penyediaan pangan dan kebutuhan yang makin meningkat. Mau tidak mau, kondisi macam ini telah membawa kesadaran kritis bahwa Filsafat Barat yang mengusung peradaban manusia sebagai penguasa segala-galanya bisa jadi justru membawa kehancuran ras manusia itu sendiri. Dengan kecerdasannya, manusia mampu membuat senjata yang sangat mematikan! Dengan kata lain, Filsafat Barat yang kental dengan rasionalitas mau tidak mau justru mengakui keterbatasan dari rasio macam ini. Tidak lah mengherankan bila kemudian tradisi Filsafat Timur yang lebih mengutamakan harmonisasi lebih mengemuka. Salah satu ajaran Filsafat Timur yang aku rasakan semenjak kecil adalah hakekat siklus kehidupan, atau dalam bahasa Jawanya tercermin dalam ungkapan "urip iku pindha cakra manggilingan". Ungkapan ini mengacu pada pengertian bahwa kita menjalani kehidupan sebagaimana roda yang selalu berputar. Kadang kita berada di atas, kadang kita berada di bawah. Filsafat Barat yang murni berkecenderungan untuk melihat kehdupan sebagai suatu garis linear. Memang, mendiskusikan dikotomi Barat dan Timur barangkali tidak lagi relevan bagi sejumlah orang tertentu. Namun, kalau kita melihat gambar besarnya, kita akan tidak terlalu kesulitan menangkap esensi dari model peradaban Barat dan Timur macam ini. Salah satu pelajaran kecil yang aku dapatkan dari membaca Musashi karya Eiji Yoshikawa adalah mutlaknya kita mempelajari hakekat harmonisasi alam. Setelah melalang buana dan mencoba mengenal berbagai tingkat ilmu samurai, mengalahkan petarung-petarung "terbaik" yang digembar-gemborkan orang, dan sekaligus mengaku kalah sekalipun belum sempat bertarung dengan tokoh-tokoh hebat sungguhan, Musashi akhirnya mengundurkan diri dengan menjadi guru baca tulis di sebuah desa terpencil. Dia tergerak untuk melatih para warga yang miskin, selain untuk mengajari baca tulis anak-anak, juga untuk bertani. Ketajaman pedang, dan kelihaian bermain pedang tidak akan ada gunanya tanpa membawa dampak praktis pada kemaslahatan masyarakat. Di desa terpencil itu, dia melihat masyarakat yang rata-rata miskin. Dengan dibantu oleh seorang anak kecil yang menghiba-hiba mau jadi muridnya - bernama Iori - dia mencoba melakukan terobosan besar. Musashi mempunyai teori: desa miskin berbatu-batu itu akan sejahtera bila saja masyarakat bekerja sama membangun petak-petak pertanian, dan mengatur jalur air dari sungai berbatu-batu itu. Namun, ajakan Musashi hanya ditertawakan oleh banyak orang. "Membendung air? Untuk pertanian? Ah omong kosong!" Itu kata orang-orang. Dan akhirnya dia pun, bekerja keras untuk melaksanakan impiannya. Orang-orang hanya melihat dari kejauhan, sambil berbisik-bisik, dengan malu-malu menertawakan kebodohan Musashi yang bekerja seperti banteng terluka. Tidak kenal siang dan malam. Dia membuat petak-petak sawah untuk ditanami. Harapannya besar, dengan mengalahkan omongan orang-orang yang mencela dirinya, Musashi mau mengajari penduduk untuk melakukan sesuatu yang bisa membuat diri mereka lebih sejahtera. Namun apalah dikata, cita-cita besar yang dijalani oleh Musashi pun hancur berkeping-keping oleh hujan semalam. Bukan hal yang aneh kalau Musashi mengalami down. Apa yang dia perjuangkan ternyata tidak hanya kalah oleh omongan-omongan orang yang mengejek, tetapi oleh kekuatan alam yang jauh lebih besar. Dia mengaku malu, bukan kepada orang-orang itu, tetapi pada kebodohan diri sendiri atas kegagalannya membaca alam. Iori, sang murid yang setia itu, telah tertempa oleh beratnya kehidupan di desa itu. Tanpa sepengetahuan gurunya, dia telah menyiapkan makanan untuk hari-hari banjir dan tanpa harapan itu. Kalaupun ada hal yang dipelajari oleh Musashi, itu adalah keberanian dia mengakui kesalahan dan kebodohan diri. Belajar dari pengalaman pertama itu, yaitu ketika petak-petak sawahnya ditelan banjir bandang, dia akhirnya berhasil menemukan cara untuk mengharmonisasikan diri dengan alam yang bisa ganas sekali. Dia merombak model petak-petak sawah, sesuai dengan cara air mencari jalan. Jalan pedang yang dia jalani melalui dunia pertanian telah mengajarinya untuk menakhlukkan alam dengan mengikuti kemauan alam itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline