Lihat ke Halaman Asli

Mengintip Kurikulum Entrepreneurship Gaya Universitas Ciputra

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kunjungan tim Fakultas Sains dan Teknologi (FST) dari Universitas Sanata Dharma (USD) ke tiga perguruan tinggi di Surabaya (17 Juni 2014) bisa jadi melelahkan. Rombongan sejumlah 26 orang yang terdiri dari dekan, dua wakil dekan, dan sejumlah dosen beserta para laboran, melakukan kegiatan kunjungan ke Politeknik ITS, Politeknik Perkapalan Surabaya, dan Universitas Ciputra. Namun, sambutan penuh kehangatan dari ketiga perguruan tinggi tersebut seakan menghapus rasa lelah.

Ketiga perguruan tinggi tersebut memiliki kekhasan masing-masing. Kedua politeknik yang dikunjungi memiliki kekhasan dengan jenis pendidikan vokasionalnya. Politeknik lebih merupakan kelanjutan SMK, di mana para mahasiswanya dididik dan dilatih untuk memiliki kompetensi teknis sesuai dengan bidang keterampilannya. Sementara, Universitas Ciputra memiliki kelebihan berupa kurikulum entrepreneurship. Mengingat bahwa saya berlatar belakang disiplin ilmu bahasa dan kependidikan, saya tidak cukup memiliki kesiapan untuk menyerap hal-hal yang berbau teknologi. Saat keluar-masuk sejumlah laboratorium ITS, yang justru membuat saya tertarik adalah tertata-rapi-bersihnya lembaga milik pemerintah ini. Jujur, ke-bersih-rapi-teratur-an macam ini jarang ditemukan di PTN pada umumnya.

Yang justru mengejutkan dari kunjungan kami adalah kurikulum entrepreneurship yang dikembangkan oleh Universitas Ciputra. Mengapa ini menjadi begitu menarik? Wilayah kewirausahaan merupakan area yang tidak cukup mudah untuk dikembangkan dalam bentuk kurikulum. Ini sudah menjadi rahasia umum. Saya membayangkan, saat Universitas Ciputra didirikan pada tahun 2006, sosok Ciputra lebih menghadirkan mimpi atau vision. Soal detail bagaimana cita-cita kewirausahaan akan diterjemahkan ke dalam kurikulum, sudah pasti Ciputra sendiri tidak mampu melakukannya.

Single-loop vs. Double-loop learning

Delapan tahun telah berjalan, dan pihak Universitas Ciputra mengakui baru tahu bagaimana mendaratkan “imaginasi” kewirausahaan itu ke dalam kurikulum. Kalau dilihat dari apa yang ditampilkan, sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa. Di dalam presentasi yang dihadirkan, langkah-langkah yang diambil untuk membungkus konsep entrepreneurship akan banyak ditemukan di dalam berbagai literatur tentang pengembangan kurikulum dalam integrasinya dengan learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (dokumen UNESCO tentang pendidikan abad 21). Di dalam presentasinya, Plt. Kepala Program Studi Teknik Informatika, Bapak Adi Suryaputra, menghadirkan jargon-jargon yang banyak dipahami secara umum. Di sana ditemukan berbagai istilah, seperti internship (kerja praktek), technopreneurship, problem-based learning, collaborative learning, dan soft-skills.

Lalu di mana letak keistimewaannya? Saya melihat dan sekaligus merasakan, bahwa apa yang dilakukan oleh rekan-rekan dari Universitas Ciputra adalah proses belajar berkesinambungan. Chris Argyris dan Donald Schon, dalam buku klasiknya Organizational Learning (1978), menyebutkan proses belajar macam ini sebagai double-loop learning. Model belajar ini berbeda dengan mekanisme single-loop learning. Single-loop learning merupakan mekanisme atau cara kerja kulkas atau AC. Saat temperatur udara dirasakan telah naik, sensor dalam alat kulkas atau AC akan mengaktivasi sistem pendinginan. Setelah udara dingin disirkulasi ke seluruh ruangan, dan temperatur mencapai tingkat yang diharapkan, sensor tersebut akan mengirim perintah otomatis untuk menghentikan operasionalisasi kerja mesin. Cara kerja dalam AC atau kulkas ini akan berulang-ulang. Pertama ada stimulasi, dan respons dibuat atas stimulasi tersebut. Respons bersifat mekanistik. Sama dari waktu ke waktu. Temperatur yang akan dicapai tetap sama. Mekanisme berulang-ulang. Tidak ada perubahan.

Double-loop learning terjadi dengan mekanisme yang berbeda. Suatu stimulasi yang merangsang suatu respons tertentu hadir. Respons yang muncul barangkali sama dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya. Namun, pada waktu yang sama, ketika kita terlibat dalam proses double-loop learning macam ini, kita tidak begitu saja berharap bahwa respons kita dengan sendirinya akan berhasil. Kita akan mengajukan pertanyaan kepada diri kita: jangan-jangan respons kita tidak sepenuhnya mengatasi persoalan yang dihadirkan melalui stimulasi khusus sebelumnya. Double-loop learning terjadi ketika sebuah mekanisme jawaban tidak pernah dianggap sebagai hal final. Pada saat kita merespons suatu stimulasi tertentu, kita mempersoal-tanyakan asumsi-asumsi kita, keyakinan-keyakinan kita, dan cara-cara kita untuk menangani persoalan sebelumnya.

Ciri khas dari mekanisme double-loop learning adalah kesediaan kita untuk selalu mendengarkan apa yang dialami dan dipikirkan oleh para mahasiswa kita atau orang-orang yang kita layani. Pak Adi Suryaputra dengan tegas menjelaskan bahwa dinamika anak-anak muda (yang 6-7 tahun lebih muda) memang telah berbeda. Sebagai seorang dosen, Pak Adi tidak puas hanya dengan menerapkan apa yang tepat bagi dirinya di “masa lalu” kepada para mahasiswanya di “masa kini.” Lima atau enam tahun perbedaan bagi generasi sekarang ini sudah merupakan waktu yang sangat lama.

Marc Prensky (2001) merupakan orang yang mempopulerkan istilah digital dinosaurs, digital immigrants, dan digital natives. Memahami perbedaan di antara tiga generasi tersebut memang menjadi pintu masuk untuk menjalankan proses double-loop learning macam ini. Tanpa memahami bahwa generasi sekarang memang memiliki cara berpikir, cara bertindak, dan cara menjalin relasi yang khas dan unik, tidak mungkin akan terbuka peluang bagi para dosen untuk menjalankan peran-peran double-loop learning macam ini. Pihak UC memang telah berhasil membuat rangkaian langkah-langkah untuk menerjemahkan kurikulum kewirausahaan. Namun, mereka dengan tegas mengatakan bahwa mereka tidak boleh merasa puas bahwa model ini akan terus berlaku seperti itu terus-menerus. Mereka akan selalu mengevaluasi, menyesuaikan, dan beradaptasi dengan berbagai tantangan yang dihadapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline