[caption id="attachment_339791" align="alignnone" width="500" caption="sumber:voa-islam.com"][/caption]
Demonstrasi menolak Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan argumen ilahiah yang tidak membolehkan seorang kafir sebagai Pemimpin kelihatannya tak akan reda dalam waktu dekat. Sebagian besar penyokong di balik demonstrasi anti Gubernur Ahok adalah kelompok-kelompok agamis yang sholeh tak pernah anarkis dan selalu taat hukum. Bukan taat pada hukum NKRI pastinya.
Bila hendak mengevaluasi apakah tepat penolakan terhadap seorang pemimpin atas dasar agama yang dianutnya, maka perlu ditelaah terlebih dahulu apa definisi pemimpin-pelindung-wali itu sejajar. Pemimpin jaman dahulu yang mutlak menguasai eksekutif-legislatif-yudikatif pada seorang diri, tak bisa disejajarkan dengan definisi pemimpin eksekutif pemerintahan yang kewenangannya terbatas. Jaman dahulu, seorang pemimpin itulah sumber hukum yang terutama, sedangkan di jaman modern seorang pemimpin eksekutif bukanlah berkuasa mutlak. Dia tak berwenang bertindak sebagai hakim ataupun pembuat undang-undang. Selain itu ada juga tafsiran yang sengaja membelokkan makna kata 'sekutu' menjadi 'pemimpin', semata-mata demi memperkuat argumen menolak kafir.
Padahal kalau mau jujur, sekarang, beranikah para pengusung ide menolak kafir sebagai pemimpin- menerapkannya pada lapangan pekerjaan?, beranikah menganjurkan agar semua buruh yang bekerja pada boss kafir agar berhenti dari pekerjaannya dan mencari boss mukmin?. Ada contoh lain: apakah berani menganjurkan agar warga berbondong-bondong pindah dari daerah mayoritas kafir agar lolos dari kepemimpinan kafir? Ataukah ada yang berani menyebarkan perintah agar jangan beremigrasi ke negara-negara kafir karena haram hukumnya tinggal dan diperintah kafir?
Sampai hari ini belum ada satupun pihak yang mengharamkan dipimpin oleh eksekutif kafir dan pada saat bersamaan konsisten menganjurkan agar buruh-buruh keluar dari perusahaan milik kafir. Juga belum ada pihak yang gencar menolak kafir sebagai pemimpin publik, sekaligus menganjurkan agar warga negara hijrah dari daerah-daerah mayoritas kafir.
Memang akhirnya disadari, agama itu paling masif digunakan sebagai alat politik. Tapi jangan coba-coba masuk ke wilayah ekonomi, dengan melarang bekerja dipimpin oleh boss kafir,karena ini perkara hidup mati. Tak punya nafkah dihindari, setelah punya nafkah baru bisa koar-koar menolak pemimpin publik yang kafir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H