Lihat ke Halaman Asli

Ruang Filsafat (Pencerahan)

Penulis/Misi Pencerahan/Pengamat Realitas Kehidupan

Apakah Dirimu Kesepian? Kesepian dalam Perspektif Filsafat

Diperbarui: 7 Juni 2024   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber Ilustrasi: PIXABAY

Oleh Sirilus Aristo Mbombo

Di ruang kamar yang seadanya, tiba-tiba ada ide yang muncul dalam benak pikiran saya mengenai makna kesepian. Saya terus bertanya, mengapa sebagian besar manusia di jagad raya ini mengelami kesepian dalam dirinya? Mengapa manusia terus-menerus mengalami kesepian? Mengapa manusia terjebak dalam jaring kesepian dalam hidupnya? Bagiamana sikap manusia dalam mengatasi kesepian dalam dirinya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus menghantui dalam benak pikiran saya. Dan pada akhirnya saya memilih menulis sebuah coretan kecil tentang makna kesepian bagi manusia zaman ini.

Manusia hidup dalam dimensi ruang dan waktu. Manusia terus bertumbuh dan berkembang selama hidupnya. Namun dalam kacamata realitas saya melihat ada sebagian besar manusia zaman ini masih merasakan kesepian yang mendalam. Fenomena ini merupakan salah satu keanehan terbesar bagi manusia zaman ini.

Berbagai penelitian dari berbagai disiplin ilmu menunjukkan bahwa kesepian itu berbahaya. Kesepian dapat menyebabkan seseorang berpikir secara keliru, merasa kesal dan bahkan mengalami depresi. Dari keadaan ini, banyak orang akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dan menganggap dirinya tidak bermakna dalam kehidupan ini. Apakah kesepian selalu membawa manusia ke arah kegelapan semacam ini? Apa yang sesungguhnya dilakukan oleh manusia dalam mengatasi kesepian dalam dirinya?

Dalam dimensi yang jauh lebih mendalam saya berpikir manusia harus mempunyai pertanyaan dalam dirinya, apa yang menjadi akar kesepian dalam dimensi kehidupan manusia?

Saya berpikir manusia zaman ini hidup di dalam masyarakat yang tidak peduli. Sesama manusia yang lain tidak akan peduli dengan keberadaan dirimu, kecuali keluargamu sendiri. Ada dua ciri utama dari masyarakat seperti ini, ketakutan terhadap segala bentuk perbedaan (cara berpikir yang berbeda, cara hidup yang berbeda, bahkan warna kulit yang berbeda) dan kecenderungan untuk menganggap sistem, aturan, serta kebijakan lebih penting daripada kehidupan manusia.

Sayangnya dalam kacamata realitas manusia zaman ini, hampir semua orang hidup di masyarakat semacam ini. Misalnya, sulit menjadi Katolik di Arab Saudi karena masyarakatnya yang sangat tertutup dan primitif. Sulit juga menjadi pemikir kreatif di dalam sistem pendidikan yang kuno dan mencekik seperti di Indonesia. 

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak peduli tidak hanya mendorong rasa kesepian yang ekstrem, tetapi juga menimbulkan berbagai penderitaan lainnya bagi manusia.

Di dalam masyarakat yang tidak peduli, penderitaan individu tidak ada artinya, terutama jika orang itu berbeda. Aturan dan prosedur dianggap lebih penting daripada penderitaan pribadi. Angka dan statistik lebih dihargai daripada kesedihan manusia. 

Kritik Yesus terhadap masyarakat Yahudi lebih dari 2000 tahun lalu masih relevan, bahwa manusia dikorbankan demi hukum. Manusia mati dan menderita karena hukum, aturan, sistem dan administrasi tidak peduli padanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline