Lihat ke Halaman Asli

Karena Mudik Tak Perlu Udik

Diperbarui: 13 Juli 2016   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Mudik tidak dapat dicegah, apalagi dimusnahkan. Hanya bisa diadili oleh waktu dan di peluk oleh jarak. Karena perjalanan terbaik adalah perjalanan menuju pulang ke Rumah "

Indeks Harga Saham Gabungan,makin mendekati level 5000 ( baca : goceng) alias Lima Libu, pertanda kapitalisasi bursa semakin oke saja. Fluktuasi hingga harga terasi Memang terpantau naik, pantas saja harga rujak di pekan lebaran ini naik hingga 30%. Apakah ini momentum untuk hari lebaran saja? Bisa iya bisa tidak, namun jika ditelusuri Dari ongkos transport hingga harga dot, dari harga bakso hingga tiket kereta ke solo, dari harga mie hingga When you marry me saja berada pada kisaran kenaikan 20-30%, lumrah saja memang. Anggap saja sebagai rejeki THR untuk pedagang, agar tetap bisa melangsungkan hidup hingga tak melulu tentang makan dan gaya hidup.

Fenomena mudik alias mbalik kampung alias mulih alias mengunjungi kampung halaman bukan hal baru, terlebih bagi hampir sebagian orang, terutama yang punya kampung halaman. Kenapa? Jika tidak punya kampung halaman, mau pulang kemana to yo hehe, yang ada hanya sapu halaman agar tetep bersih dan indah. Media cetak, elektronik, baik radio hingga televisi, polisi hingga politisi, menyambut dan mendukung kelangsungan cara paling efektif mengusir kemacetan di Jakarta tercinta ini. Bagaimana tidak, ibukota lengang ketika mudik, sehingga hipotesis sementara adalah mudik merupakan cara efektif mengurangi dampak kemacetan di ibukota, namun antrean panjang kendaraan menuju kampung halaman semakin ramai, padat merayap hingga padat susu ( padat namun kendaraan Susul-Susulan).

Mulai terasa efeknya dari H-7 sebelum Lebaran, Dimana mulai padat dan semua jenis transport sudah full booked dan crowded, hingga alternatif motor atau mobil pribadi menjadi mutu Manikam penyebab macet saat mudik tiba, ditambah kebijakan Mobil murah yang menambah beban infrastructure yang Ada. Walau harga tiket naik, bukan alasan tidak untuk pulang kampung. Sebuah Sunah muakad jika dalam hukum fiqihnya, bahkan bila ingin bertemu mantan di kampung *oalah

Pertanyaan mendasarnya adalah,mengapa pemudik pulang kampung? Kemudian mereka rela bermacet-macetan hingga mengeluarkan kocek lebih untuk sampai kampung? Mengapa pulang kampung dianggap tradisi? Hingga pertanyaan puncaknya adalah, kenapa mesti di dekat hari raya?

Jawabannya adalah karena begitu berharganya kenangan, hingga nilai ekonomis, waktu, tenaga, pikiran, hutang dll terlupakan, hingga pulang adalah sebuah jawaban atas kerinduan, terutama bersua ibu dan ayah, pioneer dari kita. Lambat laun, mereka mulai keriput, namun senyum khasnya masih merekah bagai Indomie pakai cengek, hmm, syahdu, penuh makna, padahal sesuatu yang sederhana, tapi kaya bumbu * tiba-tiba Indomie datang, wow.

Perjalanan istimewa itu adalah pulang ke rumah. Mesti semua kenangan tidak bisa terulang, namun napak tilas peradaban kita dimulai dari sana. Mulai dari rengekan kita diwaktu kecil, tangisan kita tatkala uang jajan sekolah tak cukup, rintihan dan haru kala ingin berganti baju baru, hingga sekarang hanya tinggal sendu, tak lagi seperti dulu.

Kita membunuh waktu dengan rutinitas kita, hingga senja perlahan menutup semua hingar bingar hidup kita. Menyusuri jalanan, menghabiskan energi hingga semua akan kembali, entah kembali ke kampung halaman atau kembali selamanya.

Pada akhirnya, perlahan libur telah usai dan bersiap kembali ke peraduan. Waktu Dimana kita perlu memulai kembali apapun cita,cinta, asa yang tertunda untuk bisa terwujud hingga mudik tak hanya udik, sebagai ajang pamer hingga ajang adu argumen tentang status, sekolah hingga pekerjaan. Melainkan, sekaligus memikirkan bagaimana cara mati enak, bukan hanya hidup enak.

Mari doakan bersama saudara-saudara kita yang meninggal dalam kecelakaan di tol Brebes Timur Exit. Harapan ke depannya adalah pembenahan agar tidak terjadi penumpukan parah, hingga memakan korban jiwa. Menuju Trans Java, memang hidup selalu saja (perlu) pengorbanan.
Karena mudik tak perlu udik, sehingga udik hanya perlu uduk hehe

Selamat sarapan pagi hehe

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline