Lihat ke Halaman Asli

Surat Sedih dari Ujung Utara Tanah Air

Diperbarui: 25 April 2020   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

padangkita.com

CATATAN: 

Sebelum membaca, minumlah segelas air terlebih dahulu. Kemudian, atur napas. Bacalah dengan santai. Jangan emosi. Kalau kamu hanyut, maaf seribu maaf untuk tulisan kali ini.

*

Mas Fendik berkoko. Aku baru saja membuat sambal pecel sebagai menu sahur. Maaf ya kalau surat malam ini beraroma sambal pedas-manis, bercampur masam keringat. Hehehe.

Saat ini, lintasan di otak cukup tenang. Satu per satu telah larut. Namun, gejolak diri belum bisa dibilang tenang. Ada seseorang yang membuat marah, tapi tidak mungkin aku memarahinya. Ada pula, seseorang yang teramat menjengkelkan, tapi ya bagaimana lagi. Senyumin saja.

Untuk seorang gadis, pukul 22.30 bisa dibilang malam. Untuk aku itu mah masih spre. Begadang menjadi rutinitas yang menyenangkan. Sembari menikmati aroma kesepian kuisi dengan berbagai kegiatan yang produktif dan kadang malas-malas. Kalau hati lagi baik, aku isi dengan membaca atau menulis.

Malam, aku sering menghitungi suara tokek di pohon mangga di depan rumah. Malam pula, aku menunggu suara kokok ayam tetangga, jika sudah terdengar maka jam hampir dini hari. Ayam itu, sering mengeluarkan kaingan. Suaranya memikik malam, seolah membelah kegelapan.

Aku tidak sendirian menghabiskan waktu malam. Ada dua teman yang juga suka begadang. Kami biasa berdiskusi tentang suatu hal; atau sekadar bercerita, ataupun menonton film bersama. Tak jarang pula, kami membahas agenda esok hari. Ya, sebuah rutinitas anak rumahan yang terkadang amat menjenuhkan. Aku rindu suasana luar rumah yang akrab dengan dekadensi moral, meski kadang sakit melihatnya. Ya, cari anginlah. Ambil positifnya saja. Apa? Ya ada deh pokoknya, hiburan. Begitu.

Mas Fendik, malam ini di luar amat sepi. Ahh, sebab pandemi di perumahan jarang ada suara motor lewat. Tidak pun pandemi, orang-orang keluar rumah hanya untuk bekerja, belanja, ke masjid, atau sekadar ke rumah tetangga, itu pun jarang sekali kujumpai.

Malam sedikit panas-dingin, Mas, aku baru saja membaca buku Jurnalisme Sastrawi. Sebuah buku menarik yang diterbitkan Yayasan Pantau tahun 2005. Buku itu rekomendasi dari salah satu temanku menulis yang tinggal di Sumenep. Aku senang berteman dengannya. Kebetulan kami memiliki kesukaan sama, yaitu menulis. Dan, yang mengejutkan teman lelakiku itu adalah mantan wartawan.

Sekali, kami pernah bertemu dan bertatap muka. Dia tinggal di rumah sini sekitar tiga atau empat hari. Di sela-sela rutinitas rumah dan giat pribadi, kami sering melakukan diskusi. Berbagi pengalaman tentang menulis, membaca buku bersama, kemudian mendiskusikan buku. Kami juga bercerita tentang pengalaman kuliah. Saat ini, dia sedang menyelesaikan kuliahnya s-2 dan kehidupan pondoknya, sekaligus kerja di sebuah media online konservasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline