Lihat ke Halaman Asli

Singkap Masalah lewat Literasi

Diperbarui: 24 Desember 2018   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Menjadi seorang penulis, bukanlah perkara yang sulit. Menjadi seorang penulis, juga bukan perkara yang besar. Mengapa demikian? Seperti penegasan Kuntowijoyo, hanya ada tiga syarat untuk menjadi seorang penulis. Ketiga syarat tersebut adalah menulis, menulis, dan menulis. 

Menanggapi ungkapan Kuntowijoyo, ketika seseorang ingin menulis haruslah memiliki bekal. Bekal menulis adalah membaca. Namun, realita ironi masyarakat Indonesia, ingin menulis tapi tidak tahu apa yang ingin ditulis. Penyebab terbesarnya adalah mereka seringkali berangkat dengan kepala kosong---tidak mau membaca dan tidak tahu bacaan. 

Menulis dan membaca itu seperti lampu dan kabel. Lampu tidak akan menyala tanpa adanya kabel untuk menghubungkan ke stop kontak. Sama seperti menulis. Menulis tidak membaca terlebih dahulu maka tidak akan terselesaikan titik permasalahanya. Menulis merupakan menciptakan topik permasalahan, sedangkan membaca merupakan solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut. Jadi, jika ingin menciptakan permasalahan, maka pikirkan juga cara memecahkan permasalahannya.

Coba bayangkan, ketika seseorang dihadapkan pada persoalan tentang ciri-ciri manusia sebagai makhluk sosial. Tentunya, ia akan mencari buku yang berkaitan dengan materi tersebut. Kemudian, membaca dan mengkaji dalam kehidupan sosial. Jika itu yang dilakukan, maka sudah pasti apa yang menjadi persoalan dalam benaknya akan terjawab dengan mudah. Berangkat dari proses mencari informasi, membaca, kemudian menggali menjadi konsep ilmu.

Berbeda dengan mereka, yang tidak mau mencari buku (referensi), kemudian membacanya. Sampai bumi berhenti berputar pun, persoalan itu tidak akan berakhir, justru membelenggu membayanginya. Dan parahnya, perkembangan keilmuan yang dipasok dalam otak tidak akan bertambah. Begitupula dengan pengetahuan yang didapatkan tidak maksimal. Layaknya mereka yang mau bergerak menuju peradaban hidup untuk menjadi yang lebih baik.

Tak diragukan lagi, membaca merupakan salah satu cara menyelesaikan masalah. Masalah yang ada di pikiran, begitu dengan kehidupan sosial masyarakat.Tak hanya itu saja, manfaat dari membaca juga sebagai bekal dalam kepenulisan. Seperti yang sudah disinggung di atas.

Kalau dulu, perang membawa senjata, clurit, kapak, dan lainnya. Berbeda dengan zaman sekarang. Perang berbekal konsep keilmuan dan tulisan. Maksudnya, perang memberantas kebodohan dan buta informasi, juga aksara.

Selaras seperti ungkapan salah seorang penyair dari Sumenep, Syaf Anton. Dalam memberikan materi di Sekolah Literasi Gratis (SGL) yang digelar oleh kampus Sekolah Tinggi Keguruan dn Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, dia mengemukakan syarat untuk menjadi penulis harus membaca.

Membaca dalam konteks ini, tidak harus membaca buku. Membaca alam atau realita sosial disebut juga membaca. Seperti kasus yang terjadi di Indonesia awal tahun 2017. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diduga perkara penistaan agama, berdasarkan pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu.

Keramaian kasus Ahok tersebut sempat menimbulkan aksi demo masyarakat Indonesia, juga beberapa kalangan muslim Nusantara. Munculnya kasus tersebut merupakan salah satu contoh sebagai sarana membaca alam atau realita sosial.

Terlepas dari itu, semua hal yang terjadi di sekitar kita, baik yang sederhana maupun besar adalah sebuah ilmu. Kepekaan seseorang dalam memaknai dan meminimalisir keadaan dapat dijadikan wadah untuk pembelajaran outdoor.  Oleh karenanya, membaca tidak sekadar kegiatan melihat atau mengamati saja. Terlebihnya, proses pemahaman dan pemaknaan melalui objek tertentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline