Lihat ke Halaman Asli

Titian Rindu 1 : Semburat Jingga di Cakrawala [Persembahan Perdana Seorang Komensianer]

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Turun dari becaknya Pak Ratno sambil mengucapkan matur nuwun, Gadis kecil itu memasuki rumahnya. Jarak TK tempat ia bersekolah ke rumah hanya sekitar 1 km, tapi udara di kota pesisir Jawa Tengah memang panas, dan siang itu sinar matahari cukup terik. Ia ingin segera minum air dari kendi. Dilepasnya sepatu dan kaos kakinya. Ia rasakan keringatnya mengucur. Tanpa melepas tas mungil di pundaknya, ia menuju dapur. Hampir habis air dalam kendi itu ia teguk.

Terdengar suara Ibu memanggilnya, “nduk, ganti baju ndisik..”

Inggih, bu”, jawabnya.

Kemudian ia menuju kamarnya, ia lihat ibunya sedang menata baju-bajunya dan memasukkannya ke dalam tas.

Bade tindak pundhi  tho, bu ?”, tanyanya.

“Jakarta, nduk”.

Terdiam ia, tak mampu berkata apa-apa. Ia biarkan ibunya menata baju-bajunya.

-  - -

Di dalam bis, ia dan ibunya duduk di barisan depan. Selalu di barisan paling depan, tepat di belakang supir. Ibunya selalu mual jika duduk di belakang. Sambil memegangi tas koper merah ukuran kecil yang biasa dipakai ibunya untuk merias pengantin, diperhatikannya wajah ibunya yang kosong. Wajah wanita usia 35 tahun yang cantik dengan balutan baju berwarna biru tua motif bunga-bunga kecil. Sesekali ia melihat genangan air mata di sudut mata ibunya.

Gadis kecil itu tidak banyak bicara. Ia tahu bahwa ibunya sedang tidak ingin bicara. Sepanjang perjalanan sambil memakan permen lollipop warna-warni, ia bersenandung. Ibu gurunya tadi pagi mengenalkan sebuah lagu yang indah tentang kupu-kupu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline