Menurut Ausubel (Burhanuddin, 1996 : 112) pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.
Secara kodrat, anak lebih suka bermain daripada belajar. Anak usia Sekolah dasar akan menikmati dunia bermain. Mereka akan bersungguh-sungguh melakukan sesuatu secara tulus ketika hal yang dilakukan sesuai keinginannya, bermakna baginya dan sesuai dunianya.
Jadi seorang guru dalam mendidik dan mengajar anak, seyogyanya memilih strategi, metode atupun pendekatan dalam pembelajaran yang benar-benar bermakna bagi anak-anak.
Pembelajaran bermakna tidak melulu yang harus menggunakan lab computer, lab sains atau hal-hal yang berbau laboratorium. Pembelajaran bermakna cukuplah bisa dilakukan secara sederhana, mudah dan murah. Contoh dalam pembelajaran IPAS kelas 4 (fase B) bab perpindahan panas yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi.
Guru cukup membagi anak dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok membawa peralatan sederhana yang ada di sekitar mereka. Misalnya: sendok besi, lilin, korek, air dan tisu basah.
Dengan peralatan sederhana tersebut, anak akan dengan senang mempraktekkan ketiga cara perpindahan panas (konduksi, konveksi, dan radiasi) dengan bimbingan guru.
Anak senang gurupun tenang. Tidak perlu dengan tenaga ekstra oleh guru, tetapi anak bisa memahami dengan baik konsep perpindahan panas terebut, karena anak praktek langsung dan bermakna baginya.
Meskipun begitu tidak ada sesuatu yang sempurna. Pembelajaran bermakna juga memiiki kelemahan dan kelebihan.
Adapun kelemahan pembelajaran bermakna adalah:
- Informasi yang dipelajari secara hafalan tidaklamadiingat
- Jika anak ingin mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya, maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan.