Lihat ke Halaman Asli

Mbak Avy

TERVERIFIKASI

Mom of 3

Saya, Jiwa Korsa & Cinta Untuk Tanah Air

Diperbarui: 17 November 2015   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1402507995802246961

 

[caption id="attachment_341907" align="aligncenter" width="459" caption="dokumentasi pribadi"][/caption]

Sekali lagi, ini adalah pengalaman pribadi. Artikel yang saya tulis ini adalah “based on the true story”, dan tokohnya adalah saya sendiri. Saya hanya sekedar ingin berbagi cerita pengalaman hidup, yang saya yakin tidak semua orang bisa “seberuntung” saya waktu itu.

Pada tahun 1987, saya di terima menjadi mahasiswi di Politeknik Universitas Brawijaya Malang jurusan Polibisnis (Sekretaris). Dan salah satu syarat wajib yang harus dijalani semua mahasiswa baru (tanpa kecuali) adalah mengikuti pelatihan kemiliteran atau di sebut WAMIL. Tentunya diawali dengan serangkaian tes terutama tes fisik dan kesehatan. Apabila ada yang mengidap penyakit serius dan cukup berbahaya kalau dipaksakan ikut, mereka bisa bebas. Tapi.....alhamdulillah saya lolos (melihat pengumuman dengan wajah kecut dan masam). Karena terus terang, meski saya anak kolong dan kakak saya juga tentara – tapi seumur-umur tidak pernah tahu apalagi merasakan secara langsung gemblengan secara militer yang terkenal dengan keras dan tegas. Sempat ciut juga nyali saya.

 

[caption id="attachment_341915" align="aligncenter" width="536" caption="saya bertopi di tengah (dokumentasi pribadi)"]

1402509122995670069

[/caption]

Selama 2 minggu kami dimasukkan ke barak di daerah Rampal Malang. Di gembleng keseharian ala militer oleh tentara beneran yang keras, tegas, disiplin, tepat waktu dan cekatan. Tidak pandang bulu itu laki atau perempuan, besar atau kecil, anak jendral atau anak tukang becak, jurusan tekhnik atau sekretaris. Tidak ada satupun yang lolos, semuanya harus mengikuti semua kegiatan-kegiatan bahkan sampai hukuman rame-rame.

 

Lari sudah menjadi menu wajib, dari membuka mata subuh jam 4 sampai sebelum tidur jam 11 malam. Sebelum makan wajib lari, sesudah makan harus lari. Kadang perut bisa sampai kram-kram gitu. Padahal dengan memakai helm besi, baju dan sepatu tentara yang hampir 5 kilo sendiri, bisa dibayangkan postur tubuh saya yang mungil jadi tenggelam dengan jalan yang terengah-engah karena keberatan beban. Belum kalau di bawain senjata (beneran) sambil memanggul ransel yang isinya pasir basah....ampuuuuuuunnnn dijeeeeeeee. Tapi seringnya ransel saya dibawain temen cowok yang iba melihat saya udah pucet karena kelelahan hehehehe. Eh ternyata ketahuan sama kakak pembina. Maka habislah kami 1 peleton di suruh guling-guling di lapangan yang basah penuh lumpur karena habis hujan.

 

Kami di beri jatah waktu makan cuman 15 menit, dan itu harus habis tanpa sisa. Kalau saya nggak habis, biasanya makanan itu saya transfer ke teman yang kebetulan makannya banyak. Nah ketahuan lagi. Akhirnya saya di suruh makan nasi campur pisang buah dalam hitungan detik. Di tambah, di suruh merayap selama 10 meteran untuk mengambil air minum. Ya terpaksa, daripada sereten hehehehe....

 

Sebenarnya banyak cerita yang ingin saya tulis di sini. Tapi takut teman-teman pusing melihat tulisan yang panjang sekali. Yang pasti, masa-masa karantina di Rampal menjadi salah satu cerita favourite yang sering kami bahas apabila ada kesempatan berkumpul dengan teman-teman kuliah waktu reuni.

 

Memang, setelah beberapa tahun berlalu, saya merasakan pengalaman itu sekarang justru menjadi kenangan teramat manis yang tidak hanya selalu di ingat, di samping bisa menjadi bahan cerita ke teman, saudara, bahkan anak cucu nanti – tapi juga meninggalkan pesan yang mendalam terutama dalam jiwa saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline