Ketika jam kosong, kami para generasi penerus Oemar Bakri, senantiasa menghabiskan waktu di kantor. Ada yang sambil curhat ria, ada yang membaca koran lokal, ada yang mengulas berita yang terjadi di televisi yang di tonton semalam, ada yang sibuk mengkoreksi, ada juga yang sibuk menikmati secangkir kopi atau teh yang di sediakan sekolah. Pokoknya kesibukan yang penting dan tak penting itu mewarnai kantor guru. Dan aku, tanpa sengaja bergabunglah dengan teman-teman yang sedang membahas isu-isu terbaru tentang negeri ini, aku sebenarnya lebih menyukai dengan menyebutnya negeri tercinta. Namun, terkadang sepakat juga dengan gonjang-ganjing kejahatan, perampokan, korupsi, dan berbagai perilaku-perilaku berdosa, menyebut negeri ini seperti Iwan Fals, dkk bilang... negeri para bedebah. Tak perlu menuli ataupun membuta, itulah yang tampak oleh kita, kabar terbaru menteri pun ada isu-isunya kena kasus korupsi... Lah lah lah.... Nah, dari obral-obrol ada yang mencoba mengurai peristiwa yang terjadi, seperti kasus nazarudin, kasus susno duadji, hingga ke masalah perbatasan, dan pada kesimpulan, ah dasar upportunis, intinya semua karena banyak yang mau mencari kekayaan dan mencari harta semata, ketika ada kedudukan bahasa lainnya (korupsi). Aku jemu, dalam hati ah kalau semua itu inti pembicaraan, anak kecil mah tau... Iseng aku bertanya, "kira-kira apa solusi masalah bangsa ini, yah pak kita bicara tataran ideal pak?" "Oh, mudah itu..." ujar Pak Udin, guru tertua, yang pernah menduduki Kepala Inspektorat Kabupaten. Cmiw.... mataku langsung berbinar. Aha, ternyata gampang! Penasaran, aku menyimak baik-baik. Begitupun guru-guru yang lain. "Iya, Indonesia di buat negara-negara bagian. Ada negara bagian Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Papua. Nah, walau masih negara bagian tetap NKRI. Kenapa demikian? Karena, masing-masing negara bagian, berhak, mencari, mengelola pendapatan dari kekayaan tambang, pajak, untuk kepentingan masing-masing negara bagian. Jadi, berlombalah untuk memajukan masing-masing negara. Nah, jadi pendapatan tak terpusat di Jawa saja dan di korupsikan pula. Maka yakin, InsyaAllah tak ada yang mau merdeka seperti Papua sekarang" urai Pak Udin panjang kali lebar, luas sekali... Namun, aku berfikir,sekarang otonomi daerah, masih banyak yang korupsi, apalagi ada 7 negara kecil, ada presiden-presiden kecil.... gimana tuh... Kepalaku tiba-tiba puyeng sendiri. Ah, menurutku sih permasalahan ini hanya dapat di selesaikan oleh pemimpin bangsa yang negarawan, pemberani, yang tak mau mengeluh, yang berfikir tidak hanya Jawa, tetapi berfikir Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara. Pemimpin yang berfikir dari sabang sampai Merauke dari Sambas sampai Alor, dari Pak Bakri yang pengusaha sampai Pak Amat yang pemulung. Pemimpin yang berani mempertaruhkan nyawanya demiselembar-selembar nyawa rakyatnya. Pemimpin yang mau membuat undang-undang dan peraturan yang bijak dan tak berpihak pada orang kaya, dan kepentingan sekelompok orang, pemimpin yang membuat regulasi tanpa celah untuk menguntungkan seorang atau segelintir orang. Pemimpin yang mau turun ke jalan becek, tanpa pengawal dan baju safari. Pemimpin yang merasa terhina, jika sejengkal wilayah NKRI itu di comot negara tetangga. Pemimpin yang tidak merajuk, jika sepak bolanya kalah. Pemimpin yang berani melawan kebatilan dengan tindakan, ucapan, dan hatinya. Pemimpin yang tidak hanya berfikir tentang partainya saja, yang mengokohkan keluarganya saja, tetapi pemimpin yang berfikir akan jadi apa negeri ini 5 tahun, 10 tahun, 50 tahun, 100 tahun. Pemimpin yang berfikir untuk seabad kedepan bahwa NKRI harus berdiri tegak dan maju, dan jaya. Bukan pemimpin yang berfikir 5 tahun, masa membalas janji, 5 tahun untuk mengeruk kekayaan untuk diri. Pemimpin yang marah jika hakim mengetuk palu tak adil. Pemimpin yang bersikap sidiq, amanah, tabligh, fatonah. Ya pemimpin yang takut Allah swt. Pemimpin yang takut hisab atas dosa-dosanya kelak.... Hm. Saya yakin ada nanti, bukan yang sekarang tentunya. Akan ada pemimpin itu. I love Indonesia. Pembaca sama kan yakinnya dengan saya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H