Lihat ke Halaman Asli

(FFA) Ibu Tak Pernah Meminta Upah

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Hing Saja Peserta No. 382

Di dekat tepi sungai, Fatih dan gengnya yang terdiri dari Rizky, Hilman, Dinda dan Namirah, seminggu yang lalu membuat pondok yang dijadikan sebagai markas mereka. Belum banyak orang yang tahu, karena pondok mereka itu tempatnya agak tertutup pepohonan. Kebetulan sekali letaknya dekat dengan rumah Fatih.

Rencananya markas mereka itu digunakan untuk tempat bertemu setiap hari libur atau saat mereka mendapat PR dari sekolah untuk dikerjakan bersama-sama. Berhubung rumah Fatih berdekatan dengan pondok itu, maka belakangan Fatih hampir setiap hari mengunjungi pondok itu. Kadang ia sampai tertidur, karena semilir angin diantara rerimbunan pohon terasa sangat sejuk.

“Fatih…!!! Fatih….!!!” Ibu memanggil Fatih.

Yang dipanggil malah diam saja. Bukannya Fatih tak mendengar, namun Fatih malas mendatangi ibu.

“Pasti disuruh bantu-bantu ibu,” batinnnya.

Sebetulnya, Fatih mengunjungi pondok itu bukan semata ingin merasakan kesejukan angin, namun lebih karena menghidari tugasnya membantu ibu di rumah.

Rupanya, ibu hendak meminta tolong Fatihuntuk membuang sampah. Bak sampah di dapur sudah penuh. Berhubung Fatih tak mendengar panggilannya, ibu pun membuang sampah sendiri.

Adik Radith yang baru berumur dua tahun pun menangis karena ditinggal ibu membuang sampah. Lagi-lagi Fatih cuek, mendengar suara tangis adiknya. Ia tak beranjak dari komik Conan milik Luqman yang ia pinjam saat pulang sekolah tadi. Baru setelah hampir masuk senja, Fatih bergegas pulang.

Sampai di rumah ia melihat ibu baru saja mandikan adik Radith.

“Fatih, dari mana? Habis makan siang, piring tidak disimpun. Pergi juga juga tak pamit sama ibu. Kan tadi pagi sudah janji mau buang sampah sepulang sekolah." Sambut ibu saat melihat Fatih baru muncul.

“Oh, iya. Maaf bu, Fatih lupa.” Jawab Fatih ringan.

“Wah, popok adik Radith habis. Ibu minta tolong dibelikan di warung Bu Ria, ya?! Habis itu jagain adik, sementara ibu mandi. Sebentar lagi datang Acil Vivi. Tadi ada SMS-nya.” Kata ibu sambil menyodorkan uang.

“Fatih ambil lima ribu dari uang kembaliannya nanti, ya Bu?” kata Fatih tanpa menunggu jawaban ibu.

Ibu hanya menggelangkan kepala, namun tak juga melarang.

Fatih pun kembali dengan tangan kanan memegang es krim dan tangan kiri memegang plastik hitam berisi popok untuk adik Radith.

***

Saat itu hari Sabtu, seperti biasa Fatih dan gengnya berencana berkumpul di markas mereka.

“Kita ketemu jam dua, ya?!” ajak Rezky.

“Okey, sepakat!!!” ucap yang lain kecuali Fatih.

“Nggak bisa lebh awal, kah?” Tanya Fatih.

“Aku nggak bisa, harus bantuin ummi dulu.” Kata Namira.

“Iya, kita kan juga harus sholat dhuhur dulu.” Ucap Hilman.

“Iya deh, jam dua.” Kata Fatih akhirnya.

Sampai di rumah, Fatih mengganti baju, ibu telah menyiapkan makan siang di meja makan. Ia melihat jam di dinding baru pukul 12.00. Artinya masih dua jam lagi.

“Fatih, habis makan kau bantu ibu menjemur baju.” Pinta ibu.

“Fatih dikasih uang berapa, bu?” Tanya Fatih.

“Fatih selalu begitu, ya!” sambut ibu demi mendengar pertanyaan Fatih. “Kau tak kasihan kah, melihat ibu menjemur sambil gendong dik Radith?”

Baru jam setengah satu, Fatih bergegas menuju ke markas. Ia sengaja melupakan permintaan ibunya untuk menjemurkan baju. Fatih tak mau mengerjakan pekerjaannya jika tidak diupah oleh ibu.

Sampai di pondok, tentu masih belum ada temannya yang datang. Fatih menikmati semilir angin yang terasa sejuk di siang itu. Hingga ia terkantuk-kantuk.

Namirah menepuk kakinya saat ia hampir saja terlelap.

“Kau, Namirah!” katanya sambil duduk.

“Kamu sudah lama di sini?” Tanya Namirah yang tak pernah lepas dari kerudungnya. Kadang Fatih penasaran juga, pengen lihat Namirah tak pakai kerudung.

“Iya,” jawab Fatih singkat.

“Kamu tak bantu pekerjaan ibumu dulu?” Tanya Namirah lagi.

“Tadinya sih, mau. Tapi karena ibu nggak kasih upah, aku jadi malas.” Kata Fatih jujur.

Namirah geleng-geleng kepala sambil berdecak heran. “Kau ini, tak kasihan kah sama ibumu? Setidaknya kau bantu jaga adikmu agar ibumu bisa menyelesaikan pekerjaan rumah.”

“Ya, aku mau saja. Tapi kalo ada upahnya.” Kata Fatih.

“Memangnya, kau selalu meminta upah begitu pada ibumu? Terus, berapa kau upah ibumu yang telah memasakkanmu? Mencucikan bajumu? Apalagi sewaktu kamu masih sekecil Radith. Berapa upah yang kau beri pada ibumu untuk memandikanmu? Mencebokimu? Menyusui kamu?” ucap Namirah panjang lebar.

“Ya,…” Fatih tak jadi meneruskan kalimatnya saat melihat Hilman dan Rizki berjalan tergesa-gesa menuju pondok mereka.

“Teman-teman, ada berita duka.” Kata Rizki begitu sampai di depan Fatih dan Namira.

“Kenapa?” Tanya Namirah.

“Ibunya Dinda masuk Rumah Sakit,” jawab Hilman yang diiyakan oleh Rizki.

“Sakit apa?” Tanya Namirah dan Fatih hampir bersamaan.

“Aku dengar dari Mamaku tadi, terserang stroke.” Kata Hilman.

“Jadi, Dinda ikut ke Rumah Sakit?” Tanya Namirah.

“Belum.” Jawab Hilman. “Tadi Mbah Utinya Dinda ke rumahku. Nitip kunci rumah, sekalian minta dilihatkan rumahnya. Bilangnya, Dinda dibawa pulang ke rumah Mbah Utinya di Gang 7. Mungkin besok baru ke Rumah Sakit karena Mbah Utinya nggak berani pergi berdua Dinda saja.” Jelas Hilman.

“Kalau begitu, besok pagi aku ke rumah Mbah Utinya Dinda. Kasihan Dinda,” kata Namirah.

“Aku juga,” kata Hilman dan Rizki.

“Iya. Aku juga ikut,” kata Fatih

“Kalau begitu, aku pulang saja sekarang.” Namirah pamit.

“Lho, buru-buru amat.” Kata Fatih.

“Aku mau bantu ummi dulu, agar besok tugasku selesai. Dan aku bisa main.” Namirah memberi alasan.

“Iya, deh. Kalau begitu, kita semua pulang. Besok ketemu di rumah Namirah.” Ajak Hilman

“Oke. Jam Sembilan, ya?” Namirah menentukan waktunya.

“Setuju!!!” seru mereka kompak.

***

Sampai rumah Fatih tak melihat ibu dan dik Radith. Ia coba memanggil ibunya. I Ternyata ada suara sahutan ibu dari kamar.

Fatih menuju kamar ibu. Ibu sedang terbaring kelelahan. Dik Radith duduk di samping ibu sambil mainin botol susunya.

“Ibu kenapa?” Tanya Fatih sambil memegang tangan ibu yang suhunya tak seperti biasa.

“Ibu demam, Fatih.” Kata ibu.

“Ibu pasti kelelahan, ini gara-gara aku tak pernah membantu ibu.” Ucap Fatih menyesal dalam hati.

“Kau bisa belikan ibu obat, Fatih?” Tanya Ibu. “Kau boleh ambil kembaliannya nanti.” Lanjut ibu.

“Ndak usah, Bu. Biar Fatih belikan, ndak usah dikasih upah.” Kata Fatih.

Sejak ibu sakit, Fatih pun mencuci piringnya dan piring ibu setiap habis makan. Ia juga mengangkat jemuran dan melipatnya.

“Aku tak mau ibu masuk Rumah Sakit seperti ibunya Dinda. Ternyata banyak pekerjaan ibu yangdilakukan untukku, untuk Adik Radith dan Ayah. Dan Ibu tidak pernah meminta upah. Benar kata Namirah, Ibu menyusui aku, mencuci bajuku, memasak untukku, dan banyak hal yang dilakukannya untukku. Tapi Ibu tak pernah meminta upah.” Bisik hati Fatih.

Fatih pun berjanji, untuk selalu membantu pekerjaan ibu yang bisa ia lakukan. Tanpa meminta Upah.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akunFiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline