Pada hari ahad 08/09/24 bertempat di rabithah alawiyah terjadi diskusi yang sangat menarik membahas tentang masalah isu nasab dari para habaib ba alawi yang menjadi polemik 2 tahun belakangan ini. Diskusi tersebut terjadi antara guru gembul dan pihak rabithah alawiyah yang diwakili oleh gus wafi dan habib fikri Shahab. Dalam diskusi tersebut kedua belah pihak setuju dengan tema yang akan didiskusikan yakni "diskusi ilmiah". Sebelum diskusi dimulai sudah terjadi perdebatan yang sangat Panjang terkait dengan definisi "ilmiah" itu sendiri.
Gus wafi mengutip definisi ilmiah dari kitab "lawami' al anwar" yang ditulis oleh al imam as Saffrn yang memandang ilmiah itu melalui 3 cara: yang pertama adalah al hawasus salimah (inderawi), kedua adalah khobarus shodiq (kabar yang pasti benar) yang nantinya dibagi menjadi 2 yakni khobarul mutawatir dan khobarul nabi al mu'ayyad bil mukjizat, terakhir adalah al aqlu(akal).
Sayangnya definisi tersebut ditolak mentah-mentah oleh guru gembul dikarenakan gus wafi mengutip definisi tersebut dari kitab teologis. Menurutnya Kitab teologis didasarkan pada keimanan, dan keimanan tidak bisa disesuaikan secara epistemologis dengan studi akademis apalagi ilmiah.
Guru gembul mendefinisikan ilmiah sebagai sesuatu yang berlandaskan dengan metodologi ilmiah dan disajikan dengan sistematika yang ilmiah juga. Metodologi dan sistematika ilmiah adalah sesuatu yang sesuai dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan penerimaan benak kita terhadap sebuah informasi yang dapat dikonfirmasi secara inderawi.
Beliau juga menegaskan bahwa ilmiah tidak hanya didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat dikonfirmasi secara inderawi, tetapi inderawi merupakan level pertama untuk mamastikan bahwa sesuatu itu ilmiah atau tidak. Selain mensyaratkan ilmiah itu harus terbukti secara inderawi, guru gembul juga menambahkan bahwa sesuatu yang ilmiah itu harus objektif tidak boleh subjektif.
Setelah berdiskusi tentang definisi ilmiah tersebut, sayangnya kedua belah pihak masih belum bisa menemukan titik temu. Pihak ba alawi sendiri pun tidak melontarkan argumentasi yang kuat untuk bisa menggugurkan definisi "ilmiah" yang disampaikan guru gembul tersebut. Akhirnya, diskusi tersebut menjadi kurang terarah karena tidak terjadi kesepakatan pendefinisian "ilmiah" dari kedua belah pihak.
Sebagai salah satu mahasiswa matematika saya tadinya tidak tertarik dengan polemik ilmu nasab ini, karena memang saya tidak punya kapasitas untuk membahas itu. Saya tertarik untuk membahas masalah ilmiah ini, karena pada akhirnya matematika atau lebih spesifik statistik digunakan oleh guru gembul sebagai metode ilmiah untuk menguji keabasahan nasab ba alawi. Langkah guru gembul tersebut otomatis menyetujui bahwa matematika merupakan suatu ilmu atau metodologi yang "ilmiah". Apakah benar seperti seperti itu?
Sebelum kita membahas matematika, penting untuk memahami bahwa metode ilmiah di seluruh dunia umumnya mencakup dua pendekatan utama: empiris dan normatif. Metode empiris berfokus pada observasi dan eksperimen, yang bisa bersifat kuantitatif (mengukur data numerik) maupun kualitatif (mengumpulkan data deskriptif). Sementara itu, metode normatif terkait dengan evaluasi standar atau prinsip, yang sering kali bersifat kualitatif.
Objektivitas dalam penelitian mengacu pada kemampuan untuk memperoleh hasil yang konsisten dan tidak dipengaruhi oleh pandangan atau bias pribadi. Metode kuantitatif, yang sering kali dianggap lebih objektif, berupaya untuk mengukur data secara numerik dan mengurangi subjektivitas dengan menggunakan alat dan teknik statistik.
Sebaliknya, subjektivitas mencakup pandangan, pengalaman, dan interpretasi pribadi yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Penelitian kualitatif cenderung lebih subjektif karena bergantung pada interpretasi dan analisis mendalam terhadap data deskriptif. Meskipun penelitian kualitatif sering kali dianggap lebih subjektif, penting untuk diingat bahwa penelitian kuantitatif juga dapat mengandung unsur subjektivitas, misalnya dalam pemilihan variabel atau interpretasi data.
Sebagai contoh, dalam analisis sentimen, data kualitatif seperti opini atau perasaan seseorang diubah menjadi format kuantitatif untuk analisis lebih lanjut, menunjukkan bahwa pengolahan data kuantitatif pun melibatkan aspek subjektif dalam interpretasinya.