Lihat ke Halaman Asli

Sekali Lagi tentang Cinta dan Mencintai

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bagimu Sang Putri…..

Jangan kau cintai Sang Putra, tapi kau pahamilah dia. Jika kau mencintai Sang Putra, maka cintanya akan membuatmu binasa. Pahamilah dia karena dia makhluk yang memiliki banyak nuansa. Semakin kau cintai dia, maka semakin kau akan bergantung padanya dan semakin kamu akan tersakiti olehnya. Jangan kau buru dia, sebab dia sejatinya adalah pemburu. Biarkan dia memburumu, mengejarmu dan berusaha menggapaimu. Jadilah dirimu seperti merpati baginya, dekat namun tak tergapai. Maka dia akan terus menjadikanmu sebagai buruan. Jangan kau serahkan apapun yang ada pada dirimu padanya sebelum kau menjadi haknya, sebab begitu kau serahkan dirimu, maka siap-siaplah kamu akan ditinggalkannya. Maka itu pahamilah dia dan jangan cintai dia.

Bagimu Sang Putra….

Cintailah Sang Putri dan jangan coba-coba kamu pahami dia. Semakin kau berusaha memahaminya, maka semakin kau tak mengerti bagaimana dia. Dia itu unik dan sulit dimengerti. Dia berbicara benci padahal di hatinya rindu. Dia mengatakan tak suka dipuji padahal di hati dia ingin selalu dipuji. Sekali lagi, jangan kau pahami dia, tapi kau cintai dia. Sejatinya cinta, maka memberi adalah yang utama, jangan kau menuntut apapun darinya, berilah terus dan terus berilah cintamu padanya. Jangan cepat berputus asa, sebab memang dia susah untuk dipahami. Maka itu, cintailah dia dan jangan pahami dia.

Seperti tiga orang buta yang mencoba berdebat tentang bentuknya gajah. Masing-masing bersikukuh dengan bentuk gajah yang dipegangnya.Masing-masing merasa benar dengan apa yang diungkapkannya.

Seperti itulah kita, kita berdebat tentang agama. Kita berdebat tentang cinta. Kita berdebat tentang surga dan neraka. Padahal kita juga sama-sama bodohnya. Kita sama-sama butanya. Kita sama-sama tidak tahunya. Mulut kita yang memang dasarnya tidak mau diam. Hati kita yang memang dasarnya sudah buta dan dibutakan. Sehingga kita bicara omong kosong belaka.

Kita ini sama-sama munafiknya. Kita berbicara kebenaran seolah-olah kita ini sudah benar sekali. Kita bicara agama seolah-olah semua yang kita bicarakan telah kita laksanakan. Kita ini sama-sama bajingannya dengan mereka yang menjual obat dengan segudang janji kesembuhan. Kita ini sama-sama seperti tong kosong yang nyaring bunyinya. Kita bicara agama sekedar untuk mengejar cinta. Setelah cinta kita dapatkan ternyata agama kita juga omong kosong belaka. Agama kita jadikan tameng untuk menutupi kemunafikan kita. Jenuhhh rasanya seperti ini.

Kita mengatakan dunia ini sudah gila. Dunia ini sudah akan kiamat dengan banyaknya angkara murka yang menghiasinya. Tapi sebenarnya, kitalah yang gila. Kitalah yang memang sudah kiamat. Kitalah angkara murkanya. Kitalah yang mengotori dunia dengan kepalsuan cerita kita tentang agama, tentang cinta, tentang kebenaran dan tentang semuaya. Padahal kita tak lebih dari hanya sekedar peramu kata. Kita tak lebih hanya sekedar pengobral agama. Kita tak lebih hanya sekedar PENIPU belaka.

Kenapa kita tidak berhenti saja berdebat tentang agama, tentang cinta, tentang surga dan neraka, tentang kemanusiaan, tentang kebenaran dan tentang segala sesuatunya yang membuat kita berbeda.

Kenapa tidak kita buang saja tameng kemunafikan kita. Kenapa kita tidak buka saja hati kita dan bicara dengan hati. Bicara dengan agama. Bicara dengan cinta, bicara dengan rasa. Tapi jangan membicarakan hati, jangan membicarakan cinta, jangan membicaraka agama, dan jangan membicarakan rasa. Karena inilah yang membuktikan kita sebagai tukang ngomong doang…..!!

Sebab aku jenuh, kamu capek, dia yang mendengarkan juga terpelongo tanpa sadar telah kita tipu. Dia yang membaca tulisan kita juga akan terkagum dalam kebodohannya karena telah kita tipu dibalik kata-kata indah kita.

Dasar kita ini PENIPU!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline