Lihat ke Halaman Asli

Penipu Penipu Penipu

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bagai tong yang kosong namun nyaring bunyinya. Inilah perumpamaan kita. Kita tak lebih dari pada tong yang besar namun kosong isinya dan nyaring bunyinya. Kita ini tukang peramu kata. Perangkai kata. Masih lebih bagus sang pujangga, yang diramunya hanyalah jiwanya. Kita ini yang kita ramu adalah agama, sementara kita ini tidak menjalankan apa yang diperintahkan-Nya.

Yang kita lakukan baru shalat sekali saja tapi yang kita katakan sudah shalat berkali-kali. Kita katakan dalam shalat kita sebagai pelepas kerinduan kepada Allah, padahal saat adzan terdengarpun kita masih sibuk nulis status di Facebook. Kita katakan kita ini mencintai Allah di atas segala-galanya, padahal di hati kita si doi-lah yang selalu di hati. Kita katakan Nabi Muhammad adalah kekasih kita, padahal si Ahmad, si Nina, si Nuria, si Dodi adalah nama-nama yang sering kita sebut di hati.

Ketika kita sendiri dan butuh seseorang, kita gunakan agama sebagai ungkapan kita. Kita katakan mencintaimu karena Allah, padahal dari awal Allah hanyalah sekedar sebutan di hati kita. Kita tuliskan hadist dan ayat yang indah nan syahdu sekedar untuk mengetuk pintu cinta pujaan kita, yaitu si doi.

Semua hanya karena kata. Semua karena menulis kata yang indah sehingga yang memandang seolah-olah menilai kita ini alim, suci, ahli ibadah, ahli agama, berakhlak mulia dan segala label-label yang terbaik menempel di kita. Padahal sebaliknya, di balik monitor kita adalah musang yang berbulu domba.

Tapi ya memang dasarnya semua sama, penipu menipu penipu. Kita menipu penipu. Kita tulis hal-hal yang indah berbalut kemunafikan dan sayangnya yang membaca terpesona karena yang membaca juga penipu. Yang membaca selalu membaca yang tersurat tanpa membaca yang tersirat. Hasilnya yang membaca akan tertipu, sebab yang membaca juga seperti kita. Sama-sama penipunya.

Kita selalu mengungkapkan ungkapan memuji Allah dalam comment-comment kita, padahal bukannya di hati kita memuji Allah yang utama melainkan agar yang membaca comment-comment kita akan menilai bahwa kita ini muslim dan muslimah sejati. Huh…. Penipu menipu penipu. Yang menulis status menipu yang membaca, yang membaca kemudia membuat comment yang menipu si penulis. 1 = 1 skornya.

Di saat ada yang galau kita sibuk mengingatkan bahwa hanya dengan mengingat Allah-lah kegalauan akan sirna. Idealnya betul, tapi kenyataannya, itu hanya sekedar kata yang ditulis. Kita yang menasehati tidak lebih dan tidak kurang juga tukang galau. Namun yang membedakan adalah kita galau dalam kemunafikan kita, sehingga orang memberi kesan seolah-olah jiwa kita ini sudah ada Allah yang menghiasi padahal ini semua tidak lebih dari musang berbulu domba. Masih mending yang menulis kegalauan di statusnya, dia hanya mau jujur mengungkapkan jiwanya. Lha kita!!!!

Kalaulah hanya sekedar kata, untuk apa ini semua. Jika dengan kata yang berbalut kemunafikan untuk meraih cinta, percayalah…. Yang kita dapatkan juga cinta yang munafik. Kalaulah sekedar mencari Like dari tulisan kita, maka seribu Like sekalipun juga bermakna Like yang munafik. Hasilnya adalah Penipu menipu penipu. Itulah kita.!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline