Lihat ke Halaman Asli

Tentang Novel, dan Mengapa Sebaiknya Kita Membaca Novel yang Baik

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

WHAT IS NOVEL?
by Tri Wibowo BS*
~ Editor, Penulis & Penerjemah ~

Kita sering berbicara tentang novel. Tetapi sesungguhnya apakah novel
itu? Adakah batas-batas tertentu yang membuat sebuah fiksi-prosa bisa
disebut sebagai novel yang berbeda dengan cerpen, novela, roman atau
lainnya? Misalnya, apakah Metamorfosa-nya Kafka itu bisa
dikategorikan novel atau tidak? Atau apakah Kisah Nyata si Ah Q karya
Lu Xun bisa disebut novel atau tidak? Kita tahu Metamorfosa dan Kisah
Nyata si Ah Q lumayan panjang untuk ukuran cerpen, tetapi terlalu
pendek untuk ukuran novel. Jadi, pertanyaannya adalah, sekali lagi,
di manakah batasannya?

Ada banyak perdebatan soal batas-batas novel, cerpen atau novela.
Bahkan ada sebuah buku yang menggunakan istilah `short novel' untuk
beberapa karya yang terlalu panjang untuk disebut cerpen tetapi
terlalu pendek untuk dinamakan novel (misalnya Note from Undeground,
Metamorfosa, Bartleby, The Death of Ivan Illich, dan lain-lain).

Blusetone (1956) mengatakan, "Novel jauh lebih kompleks karena
sejarahnya lebih panjang dan materinya lebih baik. Dalam mendekati
novel – istilah yang kita pakai sejauh ini dengan penuh keyakinan –
secara internal kita berhadapan dengan kelenturan batas-batasnya dan
secara eksternal berhadapan dengan hubungan khususnya dengan
kehidupan ….. novel bersifat protean [bisa sangat beragam dan
berubah-ubah bentuknya] karena ia memadukan esai, surat, memoir,
sejarah, risalah keagamaan, dan manifesto. Tak ada sesuatu yang
bisa `menyamai' novel"

Jadi di sini kita punya dua persoalan dalam mendefinisikan sebuah
novel: bentuk dan isi. Dari segi bentuk telah banyak terjadi
perdebatan yang terlalu panjang untuk diterangkan di sini. Salah satu
definisi yang paling terkenal dikemukakan oleh kritikus terkemuka
Forster dalam bukunya `Aspect of the Novel (1927),' yakni setiap
prosa fiksi disebut sebagai novel apabila jumlah kata-katanya lebih
dari 50.000 buah. Untuk memudahkan dan menyingkat waktu, saya akan
memakai pernyataan Forster ini sebagai semacam patokan batasan
panjang sebuah novel (meskipun bahkan patokan ini masih bisa
diperdebatkan lagi).

Harry Levin mengingatkan kita pada adanya tendensi yang saling
bertentangan bahkan sejak di sumbernya. Roman Perancis memperlihatkan
asal-usulnya dari roman abad pertengahan. Kata novella dalam bahasa
Italia, yang berasal dari kata yang sama dengan bahasa Inggris,
berarti "baru" dan menunjukkan sejenis narasi baru yang mengklaim
sebagai narasi baru dan benar (Bluestone, 1956). Karena
bersifat "baru dan benar," maka jenis karya ini menimbulkan persoalan
lebih lanjut. Di Amerika, sastrawan Hawthorne menolak mengunakan
istilah novel karena ia menganggap novel hanya "mengarah pada
kebenaran yang sangat kecil ….. pada kemungkinan pengalaman manusia
biasa." Hawthorne kemudian kemudian mendefinisikan bukunya itu
sebagai "roman" (romance) yang mencoba untuk membaca "kebenaran di
hati manusia" dan "mempunyai hak untuk menghadirkan kebenaran itu di
dalam lingkungan yang pada sampai tingkat tertentu diciptakan atau
dipilih oleh penulisnya sendiri" (Ibid, 1956).

Sedikit contoh perdebatan yang saya kemukakan di atas menunjukkan
bahwa novel memuat batas-batas yang sangat lentur sehingga para
kritikus enggan untuk mengklasifikasikannya secara pasti. Walau
demikian, belakangan kemudian muncul lagi pemilahan novel berdasarkan
kriteria tertentu dalam aliran sastra, seperti realisme sosial,
surealisme, ekspresionisme, dan lain-lain. Tetapi saya tidak akan
memasuki perdebatan semacam ini. Saya lebih tertarik untuk mencoba
menjelaskan sisi `internal' dalam novel dari sudut pandang yang
lebih "spekulatif."

*

Pertama-tama, novel,seperti cerpen, adalah kisah tentang kehidupan
manusia. Dan karena manusia selalu menjadi episentrum setiap bentuk
cerita, maka kita berhadapan dengan dua mode dalam diri manusia:
kesadaran dan perilaku. Ada novelis yang lebih menyukai mode
perilaku. Artinya, karakter, kesadaran atau sifat-sifat tokoh-
tokohnya tidak diungkapkan secara jelas, tetapi tersirat dalam
perilaku mereka di sepanjang cerita. Contoh terbaik adalah
novel `Pride and Prejudice' karya Jane Austen (yang sudah difilmkan
berkali-kali). Dalam karya ini sedikit sekali ada eksplorasi pikiran
tokoh-tokohnya. Kedua tokoh utamanya terlibat dalam kisah cinta yang
menarik dan mengharukan. Tetapi pertentangan itu dilihat dari
perilaku mereka dan ucapannya, dan tidak diungkapkan detail perasaan
mereka. Dalam novel yang "realis" seperti ini, plot, seting dan
konflik menjadi sangat penting. Pride and Prejudice sangat menarik
konfliknya dan Austen begitu pandai memotret konflik sosial beserta
aturan dan norma yang berlaku di abad 19 di Inggris. Tidak
mengherankan novel ini sangat dipuji dan menjadi klasik, serta di
filmkan berkali-kali. Di lain pihak, ada James Joyce dengan Ullyses-
nya, sebuah novel yang berbeda sama sekali dengan karya Jane Austen
itu. Joyce dalam hal ini benar-benar memotret kesadaran dan
pemikiran, bukan perilaku. Ia menggunakan teknik yang dalam teori
sastra dinamakan `arus kesadaran' (stream of consciousness). Di sini
kesadaran tokohnya mengalir seperti sungai, terus-menerus
bergelombang mengikuti gerak kesadaran dalam benak tokohnya,
sedangkan plotnya menjadi terasa kabur. Joyce adalah kasus ekstrim.
Dostovesky juga menggunakan pemikiran tokohnya untuk melukiskan
karakternya. Dalam Note from Underground pembukaanya langsung masuk
ke `ocehan' si Manusia Bawah Tanah yang sekaligus berfungsi
menunjukkan karakternya yang kontradiktif.

Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah ada dua realitas yang berbeda.
Tetapi di awal abad 20, berkat Jung dan Freud, muncul temuan bahwa
kesadaran dan realitas mengandung kekuatan yang belum terungkap
secara pasti. Fisika Kuantum bahkan mulai curiga bahwa materi
memiliki `kesadaran' tersendiri. Para fisikawan kuantum terheran-
heran oleh fakta bahwa partikel-partikel zat seolah-olah `menolak'
untuk didefinisikan, dan bergerak mengikuti kemauannya sendiri.
Semesta tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang bersifat mekanistik.
Fisika Newtonian tak lagi memadai untuk menerangkan realitas fisik.
Bahkan menurut seorang `spiritualis' (misalnya Frithjof Capra), cara
berbicara ahli fisika semakin mendekati cara berbicara para mistikus.
Peristiwa, materi, memang penting, tetapi "cara" kita memandang
peristiwa juga sangat penting. Ada sebentuk "relativitas" yang
misterius, yang sebagian dikaji oleh Einstein lewat teori
relativitasnya yang mengagetkan.

Kembali ke novel, pemikiran seperti di atas membuat epistemologi tak
lagi membedakan antara dua atau lebih jenis realitas, tetapi mulai
mempertanyakan apakah mungkin ada realitas yang tetap. Dalam novel
Don Quixote, tokohnya yang konyol terus saja mencapuradukkan ilusi
dengan realitas, misalnya saat dia menganggap kincir sebagai ksatria.
Tetapi kita para pembacanya tahu pasti beda antara ksatria putih
dengan kincir angin. Tetapi, di lain pihak, dalam The Counterfeiter
karya Gide, pembaca tak pernah merasa pasti di manakah letak
realitasnya. Seperti diterangkan Bluestone, tokoh utamanya, novelis
Edouard, pada awalnya mengatakan "Aku ingin memasukkan segala sesuatu
ke dalam novelku," tetapi akhirnya merasa putus asa karena tak bisa
memasukkan apapun ke dalamnya. Ketidakmampuan untuk menangkap
realitas yang senantiasa berada di luar jangkauan kini menjadi tema
utama. Novelis bukan hanya mulai meragukan realitas, tetapi dia juga
meragukan mediumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline