SEMPURNA
MBAH HAR - WAHYU
Aku rasa menyempurnakan cinta tidak harus dengan tawa. Tawa sebagian gimik aja, jika aku memperolehnya berarti itu bonus. Tawa terkadang bisa jadi kerikil tajam, hanya gambaran pasangan tanah mencoba menonjolkan diri. Menunjukkan kepada udara bumi, padahal sesungguhnya langit sana tidak pernah meminta nyanyi dan nyanyian tawa tersebut.
Adalah gambaran hati kecilku saja yang sedang menyempurnakan cinta dengan tangis. Tangisan sarat makna di akhir cerita bulan ini. Bukan aku cengeng atau menyerah karena keadaan, tangislah yang melahirkan aku. Tangis yang memberiku pandangan pertama, mengantarkan aku melihat langit itu biru. Dan sekali lagi aku katakan "tangis tengah malam" yang aku dengar darimu cinta, adalah tangisan paling indah dan merdu. Itulah jalan panjang yang mengajarkan untuk memilih dan memperjuangkan cinta dan cintaku.
Di malam larut itu aku dengar...sekali lagi aku dengar, bukan tawa, bukan pula jerit ketakutan. Mungkin akan menjadi sekali dalam seumur hidupku. Hatiku kelu, badanku tiba-tiba menggigil tanpa sebab sakit yang pasti. Dan seketika itu aku bertekuk lutut membungkuk kaku. Kosong adalah yang aku rasakan saat itu. Di kamar No 8, tepatnya di depan pintu kamar No.8 sebuah hotel di Denpasar Bali adalah saksi bisu. Langit mendengar, langit pula menjawab bahwa ada yang sakit dengan jiwaku.
Hati kecilku ternyata tanpa aku sadari ikut menangis mendengar suara tangis malam itu. Ternyata aku telah menemukan masa depanku disaat aku masih muda, di saat sebagian bilang cinta belum saatnya.
Kecuali ketenangan jiwa, itulah titik awal aku menghentikan segala petualanganku. Memulai langkah kecil lebih seimbang.
Sesuatu membuat aku berjanji. Sesuatu masih aku perjuangkan di masa sekarang saat tulisan ini terbaca dan saat akan datang belum terjadi. Suara tengah malam terdengar di kedua telingaku pada akhirnya pelita cahayaku melangkah dengan tenang di gelap dan sempitnya mata mata dunia memandang sebelah. Pembeda nyata bagiku...CINTA.
Maka sempurnalah cinta dan cintaku. Dan inilah perjalanan menuju "Pantai Pasir Putih di Kota Santri" yang takkan pernah padam menuju titik bias kata...titik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H