Lihat ke Halaman Asli

Mbah Dharmodumadi

Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Mana Mungkin Selimut Tetangga, Hangati Tubuhku?!

Diperbarui: 6 Desember 2015   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Dharmodumadi

Hubungan antar manusia sampai hari ini, merupakan sesuatu yang rumit untuk direfleksikan, meski ratusan bahkan ribuan ‘variable bebas’ berjejer mengikat varibel kebencian dan cinta-kasih.  Namun, kerumitan hakekat relasi antar manusia ini merupakan undangan bagi kita untuk lebih cermat lagi merefleksikan lebih jauh, apa sebenarnya yang mendasari relasi antar manusia itu ?.

Para filosof mencoba menduga adanya dua faktor dominan yang mendasari hubungan antar manusia ini, apakah kebencian, seperti yang dengan mudah kita saksikan dalam interaksi antar manusia sehari-hari, ataukah cinta yang sebenarnya juga terselip di tengah aktivitas kehidupan kita yang serba rutin dan monoton ini ? Ataukah keduanya?. Di dalam tulisan singkat ini, dengan sedikit melakukan refleksi fenomenologi eksistensial, saya akan berargumen bahwa hakekat dari relasi antar manusia adalah kebencian dan cinta-kasih.

Sepengetahuan saya, kebencian dan cinta ini bukanlah dalam arti emosionil saja, tetapi dalam arti fenomenologis. Artinya, kebencian dan cinta dilihat pada dirinya sendiri, dan bukan pada gejolak emosi maupun perasaan yang datang dan pergi. Kebencian dan cinta dipandang sebagai dorongan primordial yang menggerakan manusia untuk berelasi dengan manusia lainnya. Dorongan primordial, tidak-lain dan tidak-bukan, adalah suatu dorongan metafisis yang menggerakan relasi antar manusia sekaligus menggerakkan peradaban itu sendiri ?!.

Fenomenologi, secara etimologis, berasal dari kata Yunani, yakni phainomenon yang berarti penampakan, dan logos yang berarti rasio, atau kata-kata, atau penalaran rasional. Jadi, fenomenologi berarti penyelidikan rasional untuk dapat menemukan esensi yang ada di dalam penampakan (appearance). Akan tetapi, apa itu penampakan? Di dalam fenomenologi, penampakan adalah segala sesuatu yang disadari oleh seseorang. Segala sesuatu yang tampak bagi kesadaran manusia yang merupakan wilayah kajian filsafat. Dari sinilah, filsafat hendak mencari pengandaian dasar yang tidak lagi mengandaikan apapun di luar dirinya.

Fenomenologi kebencian bisa ditemukan dalam tulisan-tulisan Sartre tentang “tatapan” (look), yang bisa membantu kita menemukan makna kebencian secara fenomenologis. Dalam hal ini, tatapan bukanlah sekedar tindak melihat atau menatap tanpa arti saja, tetapi suatu tatapan kebencian (look of hatred). Para fenomenolog sebelum Sartre, seperti Heidegger dan Husserl, mengandaikan pribadi lain dan dunia bersama sebagai suatu kondisi yang sudah ada, dan tidak lagi perlu dipertanyakan.

Menurutnya Sartre, keberadaan manusia lain barulah berarti, ketika saya menyadari keberadaannya, yakni ketika pribadi lain tersebut menjadi tampak bagi saya, dan tidak sebelumnya. Manusia lain selalu menyingkapkan dirinya sebagai “sesuatu yang menatap saya”. Kesadaran bahwa seseorang sedang menatap saya bukanlah suatu kesadaran langsung, seperti ketika saya menyadari bahwa ada orang bermata hitam tengah menatap saya. Kesadaran bahwa ada orang yang sedang mengintip saya, bahwa ada langkah kaki di depan pintu rumah saya, bahwa ada gerakan di balik tembok kamar saya, juga adalah kesadaran bahwa ada “sesuatu yang menatap saya”. Dengan demikian, menurut Sartre, kesadaran akan tatapan bukanlah kesadaran akan keberadaan suatu benda obyektif di dunia, melainkan suatu kesadaran mental bahwa saya sedang ditatap.

Tatapan yang dibicarakan oleh Sartre tersebut sebenarnya adalah suatu bentuk tatapan yang spesifik. Akan tetapi, ia kemudian mengabsolutkan tatapan itu, serta menggeneralisasikannya untuk menjelaskan jenis tatapan-tatapan yang lain. Tatapan yang dibicarakan oleh Sartre adalah tatapan kebencian, di mana kapasitas saya sebagai subyek lenyap ketika ditatap oleh orang lain. Tatapan kebencian membuat saya menjadi satu benda di antara benda-benda lainnya. Apa yang ditulis Sartre ini menggambarkan apa yang terjadi sesungguhnya di dalam realitas, yakni deskripsi atas tatapan kebencian di dalam kehidupan kita.

Namun demikian, manusia tidak hanya menatap manusia lain melulu dengan menggunakan tatapan kebencian. Tetapi, suatu refleksi yang sangat tajam untuk menjelaskan hakekat relasi antar manusia di dalam masyarakat yang terdistorsi. Bahkan di dalam masyarakat yang sudah membusuk sekarang ini, ada tatapan-tatapan positif lain yang terjadi, seperti tatapan cinta, tatapan pengampunan, dan sebagainya. Di dalam praktek hidup dan karyanya, Sartre memang terkenal sebagai pembela kebebasan manusia.

Seperti halnya kebencian yang dibicarakan Sartre diatas, cinta sebenarnya juga mewarnai relasi antar manusia sehari-hari. Cinta adalah modus mengada dari manusia yang satu sama lain hidup bersama. Cinta selalu mengandaikan adanya persentuhan antara subyektifitas saya, dengan subyektifitas orang lain. Panggilan untuk persentuhan tampak di dalam kata-kata, mimik wajah, tatapan, ataupun permintaan. Panggilan untuk persentuhan yang paling otentik tidaklah terletak di dalam kata-kata, tetapi di dalam sikap yang mengajak kita untuk tidak lagi mementingkan diri kita sendiri. Cinta sebagai panggilan persentuhan dengan orang lain mengajak kita untuk meninggalkan keterpesonaan kita terhadap diri dan kepentingan kita sendiri.

Sartre menegaskan, bahwa pengabsolutan kepentingan diri dan keterpesonaan pada diri sendiri membuat kita tertutup dari panggilan persentuhan terhadap orang lain. Untuk melihat panggilan cinta itu, kita perlu lebih dari sekedar mata, lebih dari sekedar sikap berpusat pada diri sendiri. Orang yang pandangannya tertutup oleh kesombongan dan kerakusan tidak akan mampu melihat panggilan itu. Panggilan cinta dari orang lain bukanlah sebuah dominasi ataupun sebuah penaklukan. Panggilan itu memberikan kita kesempatan untuk memilih, apakah kita hendak menerimanya atau tidak. Panggilan cinta sama sekali bukan sebuah tuntutan, sehingga mudah sekali panggilan tersebut luput dari mata kita. Jika saya sepenuhnya terserap di dalam keterpusatan ego saya, maka saya tidak akan mengerti panggilan cinta dari orang lain. Ketika saya sibuk dengan diri saya sendiri, saya akan yakin bahwa saya adalah suatu entitas yang cukup diri, maka saya tidak akan peka terhadap panggilan cinta dari orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline