Lihat ke Halaman Asli

Mbah Dharmodumadi Purwalodra

Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Tak Ada Kedamaian, Tanpa Mawas Diri?!

Diperbarui: 5 Desember 2015   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Oleh. Dharmadumadi

Masih hangat diingatan kita, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 lalu, mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang penanganan ujaran kebencian atau hate speech, dengan Nomor SE/06/X/2015. Munculnya Surat Edaran ini merupakan ekses dari berkembangnya Media Sosial di tengah-tengah kehidupan kita. Pesatnya perkembangan teknologi informasi, membuat kita sebagai manusia, bebas berpikir dan berkehendak untuk menuliskan banyak ide, gagasan dan pemikiran. Ketika kita menuliskan ide, gagasan dan pemikiran di Medsos, ternyata ada banyak orang juga, yang merasa terganggu dan tidak nyaman dengan ide, gagasan dan pikiran-pikiran kita itu. Hal ini menimbulkan akibat negatif dan friksi, di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yang majemuk ini.

Pada Nomor 2 huruf (f) Surat Edaran itu, disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain : 1. Penghinaan, 2. Pencemaran nama baik, 3. Penistaan, 4. Perbuatan tidak menyenangkan, 5. Memprovokasi, 6. Menghasut, 7. Menyebarkan berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”. Dari ekses negatif yang ditimbulkan dari perkembangan Media Sosial ini, sudah selayaknya kita melakukan kritik dan instrospeksi terhadap diri kita sendiri, agar apa yang kita lakukan berada pada garis kritis kedamaian dan ketenangan bersama.

Tekait dengan Ujaran Kebencian (hate speech) dan berbagai hal tentang perilaku hidup, baik secara individual maupun kelompok ini, sejak lama kita memahami bahwa tidak ada kebaikan hidup yang bisa kita alami, tanpa adanya mawas diri. Artinya, bahwa kenyamanan dan kedamaian hidup kita banyak dipengaruhi oleh seberapa dalam kita mampu menilai diri kita sendiri, hubungannya dengan lingkungan yang kita tinggali, saat ini.

Tak bisa kita bantah lagi, bahwa dengan media sosial yang ada sekarang ini, kita lebih sibuk untuk mengubah orang lain dan dunia di sekitar kita, supaya sesuai dengan keinginan kita. Namun, kita selalu saja gagal dan justru apa yang kita nyatakan dalam media sosial itu banyak mendapatkan perlawanan dari orang-orang yang bergabung di dalamnya. Lalu, kita pun kecewa, bersedih dan bahkan marah. Dengan kondisi semacam ini, lalu munculah benih-benih dendam dan konflik di masyarakat, yang justru berasal dari hal-hal yang tidak subtansial.  

Bagaimanapun kita berusaha, dunia di luar kita, termasuk orang-orang di sekitar kita, tidak akan pernah sejalan dengan keinginan kita. Inilah akar dari segala penderitaan di dunia, yakni ketika kita memaksa dunia luar sejalan dengan keinginan kita, lalu gagal. Jika seperti itu terjadi, maka kita patut mengajukan pertanyaan sederhana berikut. Apakah ide, gagasan dan pikiran-pikiran kita di Media Sosial itu baik untuk dimunculkan ?.

Mawas diri berarti kita mengawasi diri kita sendiri, terutama emosi dan pikiran-pikiran yang muncul di dalam diri. Ketika kita marah, sedih, cemas, ataupun gembira, kita lalu mengawasi perasaan-perasaan tersebut sebagai sesuatu yang sementara, bahkan ilusi. Ketika ide, gagasan dan pikiran-pikiran yang sarat dengan emosi-emosi itu muncul di Medsos, maka resonansinya justru akan lebih memicu munculnya emosi-emosi tambahan, baik kesedihan, kecemasan, kemarahan dan lain-lain. Sehingga kita tak lagi mampu berpikir jernih, ilmiah, dan kritis.

Emosi dan perasaan adalah hasil dari pengalaman-pengalaman hidup kita sebelumnya. Kita belajar dan kemudian dikondisikan untuk merasa marah, ketika dihina. Kita belajar dan kemudian dikondisikan untuk merasa senang, ketika mendapatkan sanjungan. Emosi maupun perasaan kita adalah bentukan sosial yang sifatnya semu dan bahkan menipu ?!.

Pikiran kita pun merupakan hasil dari bentukan masa lalu kita. Kita berpikir dengan pola tertentu, sebagaimana yang kita pelajari dan lakukan di masa lalu. Ketika keadaan tidak sesuai keinginan, kita lalu dibentuk dan dikondisikan untuk berpikir, bahwa ini adalah masalah. Pikiran dan emosi menciptakan ketegangan di dalam diri manusia yang merupakan sumber dari segala penderitaan batin manusia.

Ketika kita menyadari dan menjadi pengawas atas pikiran dan emosi kita itu, sebagai sebentuk ilusi yang semu dan menipu, kita bisa masuk ke dalam ketenangan batin. Jadi, hasil dari sikap mawas diri ini adalah hancurnya semua ilusi dan pengkondisian dari masa lalu kita. Pada saat, emosi dan pikiran kita hancur, maka kita masuk ke “titik nol” kehidupan, yakni kebahagiaan batin. Di dalam kebahagiaan batin itulah, kita merasa bebas dan damai, sehingga mampu melihat segala sesuatu dalam kejernihan.

Kejernihan di dalam melihat dunia akan melahirkan sikap-sikap yang baik dan tepat. Kita tidak lagi bereaksi secara anarkhis dan keras terhadap berbagai tantangan dunia. Kita lalu menanggapi semuanya dengan sikap dan analisis yang tepat, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan yang ada. Kejernihan yang lahir dari kebebasan serta kedamaian batin inilah yang menjadi inti utama dari kebijaksanaan. Sehingga, ide, gagasan dan pikiran-pikiran yang lahir dan muncul di media sosial akan beresonansi positip.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline