Di Indonesia kekinian, sentimen atau pun isu perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA, akhir-akhir ini, tak menurun dan hilang, namun semakin mengemuka serta cenderung merambah ke berbagai bidang hidup dan kehidupan. Sementara Negara-negara di dunia, sentimen SARA (dan juga gap antar gender), semakin menghilang seiring dengan kemajuan, pekermbangan zaman, serta kedewasaan berdemokrasi. Pada banyak tempat, jika ada pengungkapan yang bersifat sentimen SARA dan gender, akan ditanggapi sebagai sesuatu yang bersifat anomali atau pu tak pada tempatnya.
Beda dengan yang sekarang terjadi di Indonesia; kemajuan bangsa pada banyak bidang, muncul (dan terus menerus tumbuh) sikap intoleransi dan menebalkan sikap konservatisme beragama di kalangan masyarakat. Bahkan, intoleransi dan konservatisme beragama tersebut, kini, menjadi bagian dari Parpol dan Politisi.
Kawan karib dari Parpol dan Politisi yang mengandalkan isu SARA tersebut adalah sejumlah organisasi keagamaan dan masyarakat, yang dibentuk atau pun terbentuk sebagai 'alat atau pun operator lapangan.' Mereka lah dengan berbagai bentuk kegiatan yang bergerak di area publik sehingga terjadi aksi-aksi bersifat sentiment SARA, termasuk sejumlah kekerasan dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama.
Hal tersebut, menurut hasil riset Setara Institute tentang Tingkat Pelanggaran Kebebasan Beragama pada Tahun 2017 terjadi 201 peristiwa; Jawa Barat, 29 kejadian, DKI Jakarta, 26 kejadian, Jawa Tengah, 14 kejadian, Jawa Timur, 12 kejadian, Banten 12 kejadian, dan di Jogjakarta.
Di samping itu, hal-hal berupa kegiatan yang bersifat sentimen SARA dan jender tersebut, diperparah dengan adanya penyebaran hoaks; hoaks yang isinya juga rasis, fitnah, dan penuh kebencian terhadap mereka yang berbeda suku, agama, golongan, dan etnis, serta beda idioologi dan pandangan politik.
Hebatnya, para perlakunya, tak lagi dimopoli oleh orang-orang muda, laki-laki, dan kalangan berpendidikan rendah dan menengah; kini, hal-hal tersebut dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi dan juga kaum perempuan, Paling tidak, awal tahun 2018, ada seorang dokter dan dosen perempuan ditangkap Polisi karena terlibat dalam penyebaran hoaks serta sentimen SARA.
Keterlibatan perempuan itulah yang menjadi perhatian dan keprihatinan saya; mereka, dokter dan dosen perempuan tersebut, bisa disebut sebagai 'datang dari kelompok terdidik dan berpendidikan tinggi.' Kelompok yang di Perguruan Tinggi, tempat mereka belajar, pernah memahami apa itu Wawasan Almamater, Etika Profesi, dan perluasan dan kedewasaan wawasan berpikir, serta memahami bagaimana interaksi sosial dalam Negara dan Bangsa yang beragam latar belakang.
Di samping itu, dokter dan dosen perempuan tersebut, adalah isteri dan ibu, yang biasnya sebagai pendidik pertama serta utama pada anak-anaknya; bisa disebut, mereka adalah peletak dasar karakter generasi berikut atau anak-anaknya. Namun, yang terjadi adalah para peletak dasar karakter tersebut justru sebagai penyebar kebencian dan permusuhan berdasar perbedaan SARA serta hoaks.
Apa jadinya jika banyak perempuan dan ibu seperti dokter dan dosen yang ditahan Polisi tersebut? Saya jadi ingat pada tahun 2015, ketika bayi, balita, anak kecil, dan perempuan diikutkan dalam demo intoleransi, Padahal menurut Undang-undang No 23, Tahun 2012, tentang Perlindungan Anak, mereka harus dijauhkan dari hal-hal tersebut. Juga, dalam dalam Undang-undang No 9 Tahun 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Depan Umum, tersirat pelarangan membawa bayi, anak-anak, reamaja, atau pun orang lanjut usia, dan lain sebagainya.
Prihatin.
Saya termasuk yang tidak menolak 'perempuan bergerak di area publik;' saya pun seorang pekerja di luar ruamh, tapi bukan bemakna 'pergerakan' tersebut menjadikan mereka, kaum perempuan, melupakan kodrat sebagai pendidik utama dalam keluarga. Dan, dalam 'kelupaan' tersebut, ia atau mereka, kaum perempan itu, melakukan hal-hal yang bersifat tidak penuh cinta dan kasih saying kepada sesama manusia yang berbeda suku, agama, golongan, etnis, dan idiologi.