Lihat ke Halaman Asli

Pentingnya Keberadaan Poros Politik Islam dalam Kehidupan Kaum Muslim

Diperbarui: 12 Januari 2016   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Allah SWT menciptakan manusia dan melengkapinya dengan berbagai karakteristik serta sifat tertentu yang secara istilah disebut dengan kebutuhan jasmani (al-hajāt al-‘udhawiyah) dan naluri-naluri (al-gharāiz). Kebutuhan jasmani (al-hajāt al-‘udhawiyah) dan naluri-naluri (al-gharāiz) ini yang mendorong manusia untuk beraktivitas guna memuaskannya sesuai dengan pemikiran dan pemahamannya tentang sesuatu. Gerakan untuk memuaskan ini pasti menciptakan bermacam jenis hubungan dengan sesama manusia, sehingga hal ini menuntut pengorganisasian (pengaturan) hubungan—jadi, semua itu memerlukan sistem terlepas darimana sumbernya, apakah dari manusia sendiri dan mereka menyetujuinya, atau dari pencipta manusia—begitu juga masyarakat terbentuk dengan adanya komponen-komponen ini: al-insān (manusia), al-afkār (pemikiran), al-masyā’ir (perasaan) dan an-nizām (sistem).

Selaras dengan ini, maka secara alami ketika muncul komunitas manusia akan tampak di antara para anggota komuntas yang menonjol dan mendominasi beberapa sifat naluriahnya, serta menggunakan karakter kepemimpinan dalam kepribadiannya, lalu mendorong dirinya untuk menjadi kepala dan pemimpin bagi komunitas (masyarakat) tersebut. Dengan demikian, lahirlah negara, kerajaan dan kekaisaran. Dalam hal ini, sejarah telah dipenuhi banyak bukti tentang lahirnya negara dan kerajaan. Sehingga ada penguasa, kepala negara, sekretaris negara, dan para pembantunya (menteri). Terkadang ada “Dewan” yang mewakili rakyat lainnya, seperti era kekuasaan Yunani, Romawi dan raja-raja Mesir kuno, di mana Allah SWT dalam Al-Qur'an menyebut mereka dengan al-Mala’ (orang-orang terkemuka).

﴿يَا أَيُّهَا الْمَلأُ أَفْتُونِي فِي رُؤْيَايَ إِن كُنتُمْ لِلرُّؤْيَا تَعْبُرُونَ﴾

Hai orang-orang yang terkemuka: Terangkanlah kepadaku tentang takwil mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkan mimpi.” (TQS. Yusuf [12] : 43).

Mereka itu mencerminkan apa yang kita sebut hari ini dengan “poros politik”. Poros politik adalah para politisi, atau mereka yang melakukan aktivitas politik dalam arti yang sebenarnya, yaitu mengurusi urusan rakyat, baik mereka berada dalam kekuasaan atau tidak, serta mereka yang terus mengikuti berita-berita politik dan aktivvitas politik, serta mengikuti berbagai insiden, agar mereka bisa memberikan pendapatnya terkait semua itu melalui sudut pandang tertentu dalam rangka mengurusi urusan rakyat.

Sebelum Rasulullah saw diutus, kaum kafir Quraisy adalah pemimpin bagi suku-suku Arab, dan ada bentuk pemerintahan yang tercermin dalam “Dewan” bagi para pemimpin dan para kepala suku yang bermacam-macam dalam kaum kafir Quraisy, yang disebut dengan “Dār an-Nadwah”. Di “Dewan” inilah mereka berkumpul, berkonsultasi dan membuat keputusan. Dengan demikian, mereka adalah poros politik yang berkuasa di Mekkah. Dan ketika Rasulullah saw diutus, mereka menyadari betul dimensi dan tujuan dari dakwah Muhammad saw, sehingga mereka menawarkan kekuasaan kepada beliau dengan syarat beliau harus meninggalkan dakwahnya, namun beliau menolaknya dan terus berdakwah hingga Allah memenangkannya, dengan adanya respon dari Madinah dan kaum Anshar terhadap dakwahnya. Kemudian beliau mendirikan negaranya di Madinah al-Munawwarah dengan model yang khas, tiada duanya, dan tidak ada negara di dunia yang menyerupainya, dimana Muhammad saw sebagai pemimpinnya dan penguasanya, Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber konstitusinya, dan para sahabatnya yang mulia sebagai kekuatan yang mencerminkan poros politiknya. Lihatlah, Abdullah bin Abdullah bin Ubai bin Salul yang meminta izin pada Rasulullah saw untuk membunuhayahnya karena apa yang dikatakannya tentang Rasulullah saw, namun Nabi saw ​​melarangnya, dan memerintahkan Abdullah agar memperlakukan ayahnya dengan baik.

Dalam era kekhilafahan Umar radhiyallahu ‘anhu, seorang wanita berdiri mengoreksi beliau terkait kasus sosial dan politik tentang masalah pembatasan jumlah mahar, lalu Amirul Mukminin mencabut kembali keputusannya. Dalam kekhilafahan Bani Umayyah, setelah Muawiyah bin Yazid melepas kekhilafahan—dan kematiannya kemudian—maka Bani Umayyah sebagai poros politik bertemu dalam sebuah pertemuan yang terkenal di Jabiya, dan mereka memberi kekuasaan kepada Marwan bin Hakam. Seandainya itu tidak ada, niscaya kekhilafahan mereka tumbang dan berakhir, sebagaimana yang dikatakan oleh para sejarawan.

Demikianlah poros politik dalam negara Khilafah Islam yang berperan sebagai katup pengaman, dan salah satu bentuk tekanan politik, koreksi, serta pengendalian sistem bagi siapa pun yang berkuasa agar tidak menyimpang dari hukum Allah SWT. Namun ketika Khilafah telah tumbang, dilenyapkan oleh kaum kafir penjajah, dan negeri-negeri kaum Muslim dikapling, sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam sudah lenyap, begitu juga dengan poros politiknya, meraka memaksakan sistem pemerintahan dan para penguasa yang tidak berhukum dengan Islam, tidak dengan sistem yang khas dan unik, tidak dengan kapitalisme atau komunisme, namun lebih dekat pada sistem gado-gado yang tambal sulam pada bebrapa negara dengan sebagian hukum Islam yang tidak melayani dan menjaga kecuali untuk kepentingan Barat dan kepentingan para penjaganya di antara para penguasa kaum Muslim, termasuk upaya Barat dan negara-negaranya untuk menciptakan kelas politik yang terdiri dari para pemikir, politisi, “ulama” dan penentu opini di negeri-negeri kaum Muslim yang akan mengembang pandang hidup Barat, sehingga terbentuk poros-poros politik yang terkontaminasi dan rusak, dengan tugas melindungi rezim dan menghiasnya untuk masyarakat umum, bahkan sekalipun mereka berada di jajaran yang disebut oposisi. Sedangkan kemiskinan, kesempitan, kezaliman dan ketidakadilan yang menyelimuti kondisi kaum Muslim di negerir-negeri mereka, maka semua ini terjadi sebagai konsekwensi yang alami dari keberadaan mereka para boneka Barat yang memimpin pengelolaan negara dan rakyat. Mereka memimpin lembaga-lembaga negara di bidang ekonomi, pendidikan, dan administrasi. Mereka memimpin media yang menjadi pelindung terkuat dan penting dalam pemciptaan opini umum dan pengaruhnya, tidak hanya dalam ide-ide individu, tetapi juga dalam kecenderungan dan perasaan masyarakat di semua aspek kehidupan. Mereka adalah para penjaga untuk setiap sendi dari negara-negara miskin.

Oleh karena itu penting dan harus bagi siapa saja yang ingin mengubah realitas negeri-negeri kaum Muslim untuk memperhatikan mereka ini dan membongkar rusaknya ide-ide mereka, dan menghancurkannya sejak dari asasnya yang rusak, dan hendaknya tidak jatuh ke dalam perangkap perubahan dari dalam, sehingga tidak menjadi bagian dari pusat-pusat kerusakan dengan dalih ilusif untuk mempercepat perubahan dan segera melihat hasilnya, seperti yang diyakini oleh bebrapa orang, sehingga diterapkan kepada mereka ini sabda Rasulullah saw:

«فَإِنَّ الْمُنْبَتَّ لاَ أَرْضًا قَطَعَ وَ لاَ ظَهْرًا أَبْقَـى»

Membebani kendaraan melebihi kemampuan, mengakibatkan terputusnya perjalanan dan hilangnya kendaraan." (HR. Bazzar, Abu Nu’aim, Hākim dan Baihaqi dalam Syu’abul Imān dari Abu Hurairah).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline