Tadi malam, ada seorang sahabat datang kepadaku dan tanpa prolog langsung nyerocos sambil menangis mencurahkan semua uneg-unegnya kepadaku. Dia baru saja memaki-maki istrinya yang sedang terkapar sakit di atas tempat tidur. Sambil duduk di sebelah istrinya yang terbaring lemas di atas dipan, dengan mulut bergetar dia berucap,‘’Kalau mau mati ya mati saja aku ikhlas dan tidak bisa membawa kamu ke dokter malam ini. Uang di sakuku tinggal 50 ribu rupiah, kalau aku bawa kamu ke dokter uang ini pasti amblas dan belum kita tidak mungkin bisa menebus obat. Sakit kami itu karena pikiran, kalau mau sembuh isi pikiran kamu itu dengan pikiran yang sehat, sabar dan ikhlas menerima kenyataan hidup ini. Tapi kalau tidak ya aku tidak bisa berbuat apa-apa, silahkan kalau mau sakit dan tetap menderita sakit seperti ini, mulai malam ini aku tidak mau merawat kamu lagi. Silahkan kamu urus dirimu sendiri, biar aku urus saja anak-anak.’’
Sudah satu tahun istrinya menderita tekanan darah tinggi dan setiap bulan dia harus keluar ratusan ribu untuk ke dokter dan menebus obatnya. Sementara kondisi ekonomi dalam 10 tahun terakhr ini terpuruk. Pekerjaan dia adalah profesional mandiri alias makelar. Mulai makelar buah, tanaman, proyek sampai makelar politik. Tapi memang dasar nasib baik belum berpihak kepadanya, kehidupan dia ya masih begitu-begitu saja tidak ada kenaikan yang signifikan.
“Aku melakukan itu sebenarnya bukan aku tujukan kepada istriku. Kata-kata makian itu aku tujukan kepada Allah, lewat media istriku. Karena aku tidak kuat menahan beban yang demikian beratnya ini. Aku tidak kuat, aku tidak tahan….’’ jelasnya sambil menangis sesenggukan dihadapannku.
Aku bisa membayangkan, dia dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan harus menghidupi 6 nyawa (1 istri dan 5 orang anak). Tidak ada pekerjaan tetap dan umur sudah berada diatas 40 tahun. Meskipun punya ijazah sarjana pertanian, tapi tidak bermakna apa-apa. Apapun gelar yang diraihnya, apapun terhormatnya posisi dan jabatan yang disandangnya, tapi kalau tidak mampu memberikan keamanan, kenyamanan dan ketentraman lahir dan bathin buat keluarganya, maka sia-sialah saja hidup di dunia.
Padahal aku tahu bahwa kawanku ini sebenarnya memiliki kemampuan lebih dibandingkan aku dalam hal menjalin hubungan dengan masyarakat. Artinya dia memiliki banyak saudara, kawan, kolega dan kenalan orang-orang ‘kelas menengah ke atas’dibandingkan aku. Kalau butuh 500 sampai 1 juta saja, pasti lah tidak sulit bagi dia jika mau minta sama saudaranya. Tapi dia enggan melakukannya. Alasannya, malu, sungkan dan sederetan alasan lain.
Kawanku ini memang agak aneh, disatu sisi dia mendemo Gusti Allah dengan alat peraga istrinya yang sakit. Dia pikir dan yakin dengan berunjuk rasa begitu aspirasinya akan mendapatkan respon positif dari Gusti Allah. Dengan memaki Allah begitu, dia pikir akan lebih diperhatikan dan tuntutannya akan segera dipenuhi ? Apa iya ?
Apa yang dilakukan kawanku tadi, meski tidak sama persis tapi esensinya sama dengan apa yang pernah aku lihat di dalam film berjudul ‘Doa Yang Mengancam’ yang disutradarai Hanung Bramantyo. Digambarkan disitu, tokoh Madrim yang diperankan Aming ini adalah seorang yang nasibnya sangat kurang beruntung. Hidupnya miskin dan banyak hutang. Istrinya yang tidak tahan dengan kondisi itu pergi tanpa pamit meninggalkan dia. Dunia seolah-olah runtuh dan merasa bahwa Allah tidak adil dengan terhadap orang-orang yang menderita kesusahan. Beruntung dia masih memiliki sahabat yang alim. Seorang jejaka (diperankan Ramzy) pengelola mushola di kampung kumuh. Disuruhnya si Aming ini untuk bersabar dan ikhlas, shollat dan berdoa kepada Allah. ‘’Allah pasti mengabulkan doa hambaNya,’’ begitu kata sahabat ini.
Setelah melakukan ritual shollat, dia kemudian berdoa dengan bersungguh-sungguh. Mohon ampun atas segala dosa pernah dia perbuat. Dan diakhir doanya dia menyelipkan kata-kata permintaan, agar istrinya kembali kepadanya. Keesokan harinya dia bertanya kepada sahabatnya,’’Kog Allah tidak mengabulkan doa gue ya ? Allah ngerti apa enggak ya dengan doa yang gua maksud ?’’
Sahabatnya lalu menjawab,’’ Yang shollatnya rajin dan doanya lebih khusyu dibandingkan elo, belum tentu doanya langsung dikabulkan. Yang sabar kenapa sih ? Kalau enggak dikabulkan di dunia pasti nanti dikabulkan di akherat,’’
‘’Permintaan gua agar istri gua kembali padaku di dunia ini, kalau ngasihnya di akherat nanti ya percuma. Sia-sia dong gua berdoa ….’’
Pendek cerita, si Madrim ini terus protes dan berunjuk rasa kepada Allah agar hidupnya bisa berubah dan istrinya yang menurutnya cantik, sexy dan aduhai itu di kembalikan lagi kepadanya.’’Kalau Engkau tidak mengabulkan doakua, maka aku akan berpaling pada setan,’’ begitu ancamnya kepada Allah.