Lihat ke Halaman Asli

Umar Fondoli

Jika kebisuan tidak sanggup memberikan jawaban, menulis adalah cara mudah untuk meringankan beban hidup.

Dalam Genggaman Rencana

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tiba-tiba saja teringat sahabatku satu perguruan dalam mengaji ilmu agama di pondok pesantren kecil di Tanah Datar Sumatera Barat. Abdul Malik, nama lengkapnya. Panggilannya Malik.

Dari puluhan murid yang mengaji pada Wak Umar, hanya kami berdua yang berasal dari Jawa. Tempat kami mengaji hanyalah berupa mushola kecil, yang dikelilingi oleh beberapa rumah panggung untuk tidur kami para santri yang mengaji disitu. Lokasi padepokan itu berada di kaki bukit dan berhadapan dengan mulut hutan belantara yang jarang sekali manusia menginjakkan kakinya untuk masuk kesana.

Aku dan Malik, sebenarnya berasal dari Banguntapan – Bantul – Yogyakarta. Waktu itu kami berdua sepakat untuk merubah nasib keluarga kami yang sama-sama berasal dari keluarga yang miskin. Bapak kami berdua hanyalah buruh tani yang hanya mendapatkan seperempat hasil panen dari sawah yang digarapnya. Begitu lulus SMA, kami berdua sepakat untuk berangkat ke Aceh untuk melamar sebagai pekerja kasar di Exxon Mobile. Kami berdua mendapatkan info dari surat kabar harian Kedaulatan Rakyat.

Begitu aku menyampaikan niat dan tekatku untuk pergi ke Aceh, ibuku sehari semalam tidak tidur dan melekan (nahan kantuk) semalam suntuk di depan pintu masuk rumah kami yang reyot. Aku perhatikan, beliau tidak henti-hentinya berkomat-kamit memanjatkan doa untuk kesuksesan dan keselamatan kami.

Kata mbah Sobary, sesepuh di desa kami, doa untuk kesuksesan anak itu yang paling manjur adalah doa dan ridhonya seorang bapak, sedangkan untuk keselamatan adalah doa dan ridho dari seorang ibu.

“Sebenarnya ridhonya Gusti Allah itu bukan dari kyai, ustadz atau orang-orang yang dianggap dekat dengan Gusti Allah, ngger. Bukan pula dari orang sepuh seperti aku ini, tapi ya dari ibu dan bapakmu sendiri itu,” kata-kata mbah Sobary itu selalu tertanam dalam kepalaku.
Sebelum berangkat, bapak dan ibuku melakukan ritual kecil yang menjadi kebiasaan di desaku. Namanya upacara langkahan, disaksikan kedua adik perempuanku yang masih berusia belasan tahun. Aku diminta tidur diatas tikar tepat menghadap pintu masuk utama rumah kami, lalu ibuku berdoa dengan menggunakan bahasa Jawa kuno yang maksud dan tujuannya agar aku bisa selamat dan tidak mendapatkan kesulitan dalam perjalanan berangkat maupun pulang nantinya.

Ibuku berjalan melangkahi tubuhku yang terbujur seperti orang mati sebanyak tujuh kali. Diikuti bapakku yang jug melakukan ritual yang sama. Lalu aku diminta jongkok, dan ibuku sambil berdoa dan menyampaikan pesannya sambil mencium ubun-ubunku. Tidak terasa air mataku meleleh membasahi pipiku pada saat itu. “Sing kuat jaga imane, eling ojo gawe cidera karo wong liyan (Yang kuat menjaga imannya, ingat jangan bikin susah sesama),” begitu pesan ibuku.
Malik pun mendapatkan perlakuan yang sama seperti aku di keluarganya dan disaksikan tetangga kanan dan kirinya. Kami berdua dilepas oleh mereka seperti melepas dua pasukan berani mati yang berangkat ke medan pertempuran. Kami naik bis dari Jogja menuju Bakahueni Lampung.

Dari Lampung kami menuju Padang. Dan dari sinilah cerita terdamparnya kami sampai ke Tanah Datar dimulai. Kami salah naik bis, seharusnya kami naik bis jurusan Lokhsumawe, yang kami tumpangi bis jurusan Tanah Datar. Tragisnya setelah membayar ongkos ke kondektur bis, kami tertidur dan semua tas dan bekal yang kami bawa dari Yogyakarta hilang diambil orang.
Mungkin sudah kehendak Tuhan, ketika kami makan di warung dekat WC umum di terminal Tanah Datar, Wak Umar yang melihat wajah sedih dan muram durjanya kami berdua merasa iba dan mendekati kami berdua. Kami ceritakan musibah yang menimpa kami kepada Wak Umar, dan beliau menawarkan untuk sementara tinggal di rumahnya yang ternyata seperti pondok pesantren kalau di Jawa.
Aku tidak tahu alasan pastinya, kenapa Wak Umar yang konon sudah belajar banyak ilmu agama Islam mulai dari Mekah, Persia, Gujarat, Aceh, Gowa, Madura, bahkan sampai ke Jawa itu, lebih memilih mendirikan tempat mengaji di pinggiran desa, dimana orang-orang enggan datang karena jalannya menuju kesana belum beraspal dan sulit ditempuh dengan kendaraan.

Untuk menuju ke tempat yang dikenal orang-orang desa dengan aliran sufistik itu, hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua dan jalan setapak. Jika ada tamu yang membawa mobil, biasanya mobilnya diparkir di halaman SD Muhammadiyah yang jaraknya sekitar 1,5 km sebelum rumah Wak Umar.
Konon Wak Umar memilih tempat untuk mengajarkan ilmu agama di pinggiran desa itu untuk menghindari tokoh agama lainnya karena ajaran yang disampaikan dianggap menyempal dari Al Qur’an dan Hadits. Ada lagi isu, kalau Wak Umar ini dulunya pelarian organisasi komunis dari Jawa.

Tapi orang- orang kampung banyak yang tidak percaya dengan isu itu, karena Wak Umar di mata mereka adalah orang yang taat beragama dan baik budi pekertinya. Yang mereka tahu, orang komunis tidak percaya dengan agama dan tidak mengakui adanya Tuhan. Itulah yang menyebabkan orang kampung tidak percaya kalau Wak Umar adalah orang komunis.
Wak Umar sendiri sebenarnya berasal dari Tanah Merah. Beliau adalah anak tunggal Pak Haji Balam, seorang tuan tanah yang sangat di hormati di daerahnya. Entah kenapa, sejak istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertamanya yang juga meninggal saat lahir, Wak Umar memilih pergi meninggalkan tanah kelahirannya dan belajar ilmu agama sampai ke berbagai tempat. Anehnya, meskipun sudah sudah berhaji berkali-kali, dia tidak suka dipanggil Wak Haji.
Tempat mengaji kami yang jauh dari keramaian, membuat hati dan pikiran kami sangat tenang dan terkadang juga mengerikan. Kami dan teman-teman lain sesama santri yang tinggal di pondok pesantren Wak Umar, sudah terbiasa mendengarkan suara auaman harimau, teriakan beruk, lolongan srigala, gonggongan anjing hutan, bahkan suara aneh lainnya yang membuat bulu kuduk ini berdiri.

Jika pagi, sambil mendengarkan kicauan merdu burung-burung, kami semua pergi ke ladang milik Wak Umar untuk merawat berbagai macam tanaman produktif mulai dari sayuran, buah-buahan sampai umbi-umbian. Dan hasilnya dijual untuk menyambung kehidupan puluhan santri di pondok pesantren itu.
Wak Umar banyak mengajarkan kepada kami tentang bersyukur dan ikhlas dalam menghadapi persoalan kehidupan di dunia ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline