Lihat ke Halaman Asli

Anak Polah Bapa Kepradhah, Saka Githok Petananing Sirah

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional, entah dari kapan peringatan itu dimulai, ku tak begitu paham. Dan seperti pada pagi ini, tak sengaja saya melihat sekilas di TVRI, Bapak Presiden pun sempet mengeluarkan sepatah dua patah kata, harapannya adalah yang patah dari kata-kata itu tak menjadi patah pada kondisi kita demi keberlangsungan hidup sang anak, karena kita dulu juga pernah menjadi anak. Dan tak menutup kemungkinan pada diri kita yang berbadan dewasa ini masih memiliki banyak sifat anak yang kadang kekanak-kanakan alias childish. Sebaliknya, dari sifat childish kita ini semoga masih banyak yang bisa kita pelajari tentang sifat dari seorang anak, keberdamaiannya, kejujurannya, keluguannya, juga cita-citanya...

Pada saat ku masih menjadi anak-anak pernah kugantungkan cita-cita setinggi langit. Dan ketika aku muda lalu bertambah dewasa, ku mulai bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah. Maka cita-cita itu pun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. Namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasilnya. Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, Kuputuskan untuk mengubah keluargaku, dan orang-orang yang paling dekat denganku. Tetapi, celakanya, mereka pun tidak mau dirubah ! Dan kini..... sementara aku terbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari : "Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku, Maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku; Kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia!" "Hasrat ingin berubah" [Anonim]

Minggu lalu saat saya sedang orientasi telah diingatkan kembali berbaris baris kalimat diatas. Menilik rangkaian-rangkaian kata (terquote) diatas, bukan satu pernyataan "terlambat"untuk kita memulai satu hal meski keberadaannya sudah tak berujud anak pada badan kita ini. Sebagai makhluk yang dinamis ada banyak kemungkinan diri untuk berubah, tentu yang kita harap bukan satu bentuk perubahan yang memburuk, sebaliknya meski  dalam kondisi badan yang semakin menua ternyata masih banyak yang bisa kita lakukan, setidaknya dimulai dari diri sendiri. Karena bukankah dengan memulai pada diri sendiri nantinya juga bakalan bisa berpengaruh pada orang lain..? terutama dilingkungan kita.  Masih berbicara tentang anak, ada sebuah rangkaian kata "anak polah bapa kepradhah", bahwa jika anak melakukan satu perbuatan, orang tua pun bakal mendapatkan akibatnya. Anak bertindak buruk dan ra ndalan maka orang tua juga akan memperoleh hukuman, aib, beban, dan lain sebagainya. Setidaknya yang diperoleh itu bisa berujud hukuman atau akibat lain lewat  pencitraan diri dari masyarakat sekitar. Jaman sudah berubah, yang namanya demokrasi pun telah didengung-dengungkan ditelinga kita. Dan musti dalam kerangka demokrasi namun kita tetep harus membuka mata, bahwa dalam mendidik anak tak semuanya bisa kita terapkan, ada nilai-nilai kultur dan atau budaya yang masih layak kita pegang dinegeri ini. Balik lagi tentang demokrasi, mungkin kita sudah terlalu malas dengan suguhan-suguhan berita mengatasnamakan demokrasi, namun semua yang sedang terlakoni ini musti bisa kita terima dalam kerangka 'berproses', sebagaimana anak-anak, tanpa menjadi besar dan dewasa (demokrasi)  kalau kita tak mau melalui proses berantem, proses jatuh, dan proses-proses lainnya. Semua tak lain adalah proses pembelajaran demi kedewasaan itu sendiri. Hanya saja disini yang namanya orang tua notabene sebagai subyek dari anak hendaknya bukan lagi menunggu anak polah baru selanjutnya orang tua kepradhah. Tindak demokrasi dari orangtua adalah apabila orang tua bisa menjadi pradhah, yaitu berkelapangan dada untuk menerima anak ya sebagai anak, memberikan satu bentuk kemerdekaan berpikir demi perkembangan mereka. Bukan satu pemaksaan kehendak dari kamauan orang tua dengan dalih "demi kebaikan anak". Karena saat ini memang bukan lagi jaman Siti Nurbaya. Anak dicekoki sebuah 'dogma' yang tak lain adalah satu bentuk kesombongan orang tua sebagai ajang gengsi apalagi pemuasan obsesi. Saat ini telah banyak sarana yang bisa dipergunakan sebagai alat untuk mendidik anak, ada televisi, ada internet, dan hal-hal lain yang tak hanya berujud kebendaan saja. Semua bisa diserap dari banyak media, disinilah peran orang tua untuk bisa menjadi "pradhah" dalam mengarahkan anaknya. Semua sudah dan musti diikuti sesuai perkembangannya, tak bisa dihindari apalagi menolaknya, karena kalaupun itu dipaksakan maka akibat yang terjadi adalah bentuk ketertinggalan dari belahan negeri lain, nantinya bagaikan katak dalam tempurung keberadaan kita. Bukan menghindar, namun alangkah lebih baik jika segala pesan  para leluhur menyangkut budaya nenek moyang negeri ini pun tak ditinggalkan. Negeri kita sudah sangat kaya segalanya, termasuk kaya pengalaman dijajahnya. Untuk itu jangan pernah kita menjadi terjajah lagi dalam bentuk penjajahan budaya dan perilaku yang selalu mengaca pihak/dunia luar. Sebaliknya, musti kita paksa untuk bisa mengaca pada diri sendiri, ngilo githoke dhewe, semoga dari mengaca diri ini kedepannya kita bisa metani sirahe dhewe, memperbaiki dan membersihkan diri sendiri. Setelah bisa metani sirahe dhewe saya rasa fungsi orangtua sebagai sahabat anak pun tak akan menemui kendala karena memang telah lepas dari ego sebagai orang tua yang (sok) selalu menilai tindakannya terhadap anak adalah selalu benar.  Dari sinilah akan tercipta kesungguhan sikap orangtua yang dibutuhkan oleh anak yaitu sikap pradhah bukan kepradhah lantaran anak sudah polah.[uth] ilustrasi: menimang                                                                                 Diposting juga di Multiply

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline