Lihat ke Halaman Asli

Wicara Tanpa Karana [Tak Semua Butuh Kata]

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Tuhan khan memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita minta dan inginkan” Satu kalimat diatas saya ingat sekali karena dahulu sempet lama tertoreh pada tagline di siteweb (blog) teman. Meski setelah itu saya banyak menjumpai kalimat serupa dipakai dalam tulisan-tulisan tertentu namun saya tak merasa bosan untuk membacanya. Mencoba “memahami” rangkaian kata yang tersusun sehingga menjadi kalimat indah diatas adalah bagian terpenting dalam perjalanan waktu. Sementara tanda waktu bergulir adalah juga karena ada siang dan malam yang ditandai dengan munculnya matahari yang bergantian dengan bulan.

Siang adalah terang dan malam identik dengan gelap. Hal itu sebagai hukum alam yang kita jalani di kehidupan ini. Memang ada kalanya tersedia  malam yang terang, apalagi pada saat bulan (purnama) tak malu-malu lagi menampakkan dirinya tuk sembunyi di kegelapan. Namun yang pasti terangnya bumi siang adalah akibat pancaran sinar matahari, sementara terangnya bulan pun adalah karena pencahayaan yang dihasilkan oleh matahari pula. Maka melihat hukum alam yang juga sering kita sebut sebagai kehendak Tuhan ini sumber utama yang dibutuhkan tak lain dan tak bukan adalah matahari. Ya sumber utama yang dibutuhkan sebagai anugerah Yang Maha Memberi adalah Matahari.

Berpikir tentang matahari, ada satu lagu anak yang kembali musti saya ucapkan yaitu yang berjudul “kasih Ibu”. Menjelaskan kasih beliau yang tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi dan tak berharap untuk memperoleh imbalan. Senada dengan Sang Surya (matahari) yang bertugas menyinari dunia.

  • Sungguh sangat mulia tugas sang Mentari ini hingga tangan-tangan yang sering melakukan penjernihan hati seperti I Gde Prama pun sempet memaparkan bahwa “Perilaku kehidupan serupa matahari. Bila sudah waktunya terbit, ia terbit. Jika saatnya terbenam, ia terbenam. Dan di dalam pikiran yang dipenuhi rasa cinta, matahari akan disebut menerangi, memberi energi. Dalam pikiran yang penuh keluhan, ia diberi judul panas, sumber kekeringan, awal paceklik.”

Ada satu tuntutan “pemahaman” yang musti kita jalankan dalam otak ini. Semua dikembalikan kepada (pikiran) kita masing-masing sebagaimana terkutip dalam kalimat (yang saya quote) diatas.

Dalam berpikir orang  perorang cenderung berbeda. Itulah khasanahNYA. Namun justru dalam perbedaan tersebut dapat kita ciptakan warna yang serasi dan kadangkala juga ditambah dengan gradasi sehingga mampu kita pandang sebagai seni rupa atau seni dekorasi. Ada yang hasil dekorasi itu bisa kita nikmati dan juga dideskripsi akan tetapi tak sedikit bagian yang lainnya hanya bisa ’sebatas’ kita nikmati saja. Yach, disinilah letaknya bahwa tak semua harus kita ungkapkan dengan kata-kata, kesejatian rasa adalah penggantinya.

Dari sinilah secara tidak langsung dituntutnya kita  untuk bisa memahami dan merenungi, bila ada waktu untuk kita merenung, maka memahami kekurangan-kekurangan kita adalah tindakan terbaik. Begitu juga sebaliknya, pada saat kesempatan berbicara itu  hadir buat kita, maka harapannya adalah kita tak keberatan untuk mengemukakan dan membicarakan kelebihan-kelebihan temen-temen yang lain. Dengan pemahaman yang seperti ini memang pada dasarnya tak jauh dari sikap “mawas diri”. Sikap yang mau memulai dari diri sendiri untuk meneliti ulang, hal-hal apa saja yang ada dan tersedia atas kekurangan pada diri kita.

Adalah sangat penting dalam otak dan pikiran kita cenderung menuju pada kebenaran, namun alangkah akan lebih penting apabila kita juga mau memahami pendapat orang lain untuk bisa mengerti apa yang sedang kita pikirkan (walaupun kita tahu semua itu tujuannya tak lain adalah demi kebenaran semata). Pemahaman dari diri yang tak butuh banyak ungkapan dari mulut itu semoga mampu kita jadikan sebagai titik awal sebagai tolok ukur diri. “WICARA TANPA KARANA” istilah orangtua Jawa terdahulu, yaitu tak perlu kita banyak berbicara jika tanpa ada sebab yang mengharuskan pokok bahasan itu diungkapkan. Lebih bisa mendengarkan kata-kata dari temen lain dan menggunakan kata-kata hanya untuk membantu bukan untuk menyakiti aadalah bentuk dan tindakan yang lebih mulia.

Achhhhh, mungkin dalam menuliskan ini saya mengalir begitu saja, lancar tak berhambat. Namun saya sadar semua ini yang terpenting adalah realisasinya, dan hal itu tak semudah dalam menuliskannya, bakalan banyak gangguan dan mungkin bisa-bisa stuck sebelum sampai pada tempat tujuan. Untuk itu bahan perenungan atas pemahaman ini semoga mampu kita aktualisasikan dan tak hanya berhenti pada penulisan dan perenungan semata. Maafkan saya… [uth]

_________ Tulisan ini juga bisa dibaca di ikanmasteri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline