Lihat ke Halaman Asli

Pedoman Santri Terbawa Sampai Mati

Diperbarui: 20 Oktober 2021   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

             Hidup Bersama dengan kebiasaan mengantri itu adalah hal yang biasa bagi seorang santri. Rela meninggalkan rumah demi menuntut ilmu serta mendapat akhlak yang baik itulah tujuan mereka, bukan semata-mata pindah tempat tidur saja, mereka harus rela menahan rindu mereka kepada keluargannya terutama kepada orang tua. Istimewa, tidak semua anak muda bisa melakukannya bahkan dari beberapa Kota, Daerah bahkan Desa, hanya beberapa orang yang dipilih Allah untuk bisa melakukannya.

Bagaimana mungkin, misalnya sebuah pesantren yang bisa memuat 100 orang dan hanya memiliki enam kamar mandi, jika mereka bukan orang yang sabar dan kuat mereka mungkin hanya bisa bertahan Cuma dua minggu atau mungkin hanya tiga hari. Bukan hanya itu disamping minimnya fasilitas keseharian mereka juga dipenuhi dengan aktivitas yang sangat padat dari mulai bangun jam 3 pagi dan tidur Kembali disaat jam 11. 

Sebagian pemuda berkata, ngapain capek-capek pergi kepondok, jauh dari orang tua, nggak bisa main keluar, terlihat kurang update (ketinggalan jaman), tutur kata pemuda yang hanya memandang sebelah. Mereka belum tahu, dulu K.H Moh Salim Imron selaku Pengasuh Ponpes Manba’ul Hikam (EMHA) Putat Tanggulangin Sidoarjo pernah dawuh, “ Santri iku kudune dadi wong seng Ready Stock (Siap Pakai) minimal isok moco qur’an iku wes apik” prinsip beliau jika santri EMHA keluar dari pondok Ketika dirumahnya disuruh apapun mereka harus siap selalu, tidak ada kata tidak bisa, dan seminim-minimnya ilmu yang didapat santri Ketika keluar dari pondok setidaknya mereka bisa membaca Al-Qur’an dengan Makhroj dan Tajwid yang benar, karena biasanya yang pertama kai dilihat orang desa terhadap santri adalah bacaan qur’annya, tidak mungkin mereka baru keluar dari pesantren tiba-tiba disuruh baca kitab gundulan atau kitab kuning.

            Perjalanan seorang santri saat menuntut ilmu adalah sebuah hal yang tidak mudah, seperti pengalaman saya sendiri, kita dituntut untuk belajar ilmu umum dan ilmu agama dala waktu yang sama. Berusaha untuk selalu istiqomah adalah tantangan terbesar dalam belajar, tidak hanya dalam belajar, istiqomah juga dibutuhkan sampai akhir hayat.

Biasanya di saat Yazidu-yazidunya atau bertambahnya semangat kita untuk melakukan segala hal, Ketika mau melakukan apapun sangat ringan untuk dijalankan, akan tetapi Ketika lagi wayangqushu niat prinsip Ketika berangkat mondok adalah satu-satu obatnya. Seperti perjalanan Ibnu Hajar Al-‘asqolani saat mencari ilmu, beliau adalah seorang anak yatim piatu yang ditinggal ibunya dulu kemudian ayahnya saat masih kecil, dibawah asuhan kakaknya, beliau tumbuh sangat rajin dan semangat dalam menjalankan apapun. 

Suatu ketika, saat beliau masih belajar disebuah madrasah, ia terkenal sebagai murid yang rajin, namun ia juga dikenal sebagai murid yang bodoh, selalu tertinggal jauh dari teman-temannya. Bahkan sering lupa dengan pelajaran-pelajaran yang telah di ajarkan oleh gurunya di sekolah yang membuatnya patah semangat dan frustasi. Beliaupun memutuskan untuk pulang meninggalkan sekolahnya. Di tengah perjalanan pulang, dalam kegundahan hatinya meninggalkan sekolahnya, hujan pun turun dengan sangat lebatnya, mamaksa dirinya untuk berteduh didalam sebuah gua.

Ketika berada didalam gua pandangannya tertuju pada sebuah tetesan air yang menetes sedikit demi sedikit jatuh melubangi sebuah batu, ia pun terkejut. Beliau pun berguman dalam hati, sungguh sebuah keajaiban. Melihat kejadian itu beliaupun merenung, bagaimana mungkin batu itu bisa terlubangi hanya dengan setetes air. Ia terus mengamati tetesan air itu dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa batu itu berlubang karena tetesan air yang terus menerus.

Dari peristiwa itu, seketika ia tersadar bahwa betapapun kerasnya sesuatu jika ia di asah trus menerus maka ia akan manjadi lunak. Batu yang keras saja bisa terlubangi oleh tetesan air apalagi kepala saya yang tidak menyerupai kerasnya batu.

Jadi kepala saya pasti bisa menyerap segala pelajaran jika dibarengi dengan ketekunan, rajin dan sabar. Sejak saat itu perubahan pun terjadi dalam diri Ibnu Hajar. Beliau manjadi murid yang tercerdas dan malampaui teman-temannya yang telah manjadi para Ulama besar dan ia pun tumbuh menjadi ulama tersohor dan memiliki banyak karangan dalam kitab-kitab yang terkenal dijaman kita sekarang ini. Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain.

Dari peristiwa tersebut kita mendapat banyak hal yang bisa kita ambil hikmahnya dan sangat memotivasi kita semua bahwa sekeras atau sesulit apapun kita melakukan suatu hal jika kita sangat tekun dang berusaha semaksimal mungkin maka kita akan mendapat hasil yang sangat maksimal dan kesuksesan yang tak terduga. Namun dari semua hal yang dilakukan santri, jika adab ketawaddhu’annya kepada kyai atau keluarga ndalem kurang maka semua itu akan berpengaruh pada kemanfaatan ilmunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline