Pada suatu hari terjadi keributan diluar rumah saya dan saya pun datang untuk mengeceknya. Diantara deru cacian, makian, juga kata-kata kasar yang terdengar, saya mencari tahu ada apa dan menemukan fakta bahwa desa kami kedatangan pelacur.
Saya tidak tahu darimana perempuan itu berasal, namun sambil menangis (sembari memegangi pipinya yang ditampar) ia menjawab kalau ia berasal dari desa yang cukup jauh dari desa saya, namun saya sendiri tidak tahu dimana letak desa itu.
Akar dari permasalahan ini (Saya mengambil kesimpulan dari pembicaraan-pembicaraan) adalah dua orang ibu yang saling menyalahkan anaknya. Sebab anaknya-lah yang membawa perempuan itu ke desa ini. Riwayat lain mengatakan bahwa perempuan itulah yang menjual dirinya seharga 20.000.
Perempuan itu kalau kita bilang cantik, lumayan. Ia memiliki tubuh yang proporsional, wajahnya ayu dengan hidung yang cukup mancung, matanya indah dan bibirnya manis. Rambutnya sebenarnya hitam namun beberapa bagian telah di cat bewarna kecoklatan dan kuning. Namun sayang kejadian hari ini menutupi semua keelokan yang ia miliki, sebab dalam kacamata manusia; secantik-cantiknya kamu, atau seberapa bohay bokongmu, jika kamu adalah pelacur, maka kamu tetaplah pelacur.
Aku ingin tahu darimana umat manusia belajar melacur, sebab dari literature-literature yang kubaca, aku belum menemukannya. khayalanku terkadang terbang ka bangsa Yunani karena merekalah yang selalu mengeksploitasi tubuh manusia dengan cara yang aduhai, dan aku mencoret bangsa Sodom karena mereka tidak melacur namun cenderung mengajarkan transgender.
Kata pelacur bahkan tidak kuketahui darimana asalnya. Apakah sanskerta atau Yunani? Aku tahu bahwa ada kata logos dari Yunani yang menyusun kata 'Tekhnologi', namun kata Pelacur tidak pernah kutemukan. Mungkin hanya para arkeolog yang tahu darimana asalnya.
Sementara kata-kata kasar memantul di udara dan membuat sakit telinga kami, sebuah tamparan melayang kearah pipi perempuan itu, membuat tangisannya membesar dan hujan di matanya bermunculan.
"Jangan kamu pukul nanti dia lapor polisi! Di zaman ini dikit-dikit yang main polisi!" Salah satu dari kami mengingatkan.
Ujungnya, aku melihat pelacur itu diusir dari desa kami, dan saat berjalan, pantatnya yang bohay bergerak-gerak, celananya yang lebih pendek dari lututnya mungkin akan menjelaskan siapa dia, dan ketika tubuhnya menghilang di kejauhan, aku hanya mendengar pertengkaran antara keluarga itu semakin redam, seperti suara radio yang semakin lama semakin mati.
Dalam bahasaku, pelacur kita sebut ubek, dan aku bersyukur tidak ada kata yang lebih halus daripada itu. Aku percaya bahwa pelacur lebih baik disebut pelacur dan koruptor lebih baik disebut maling. Penghalusan kata yang jelek hanya menjadi alasan agar kita bisa keluar dari konteks yang ada.
Mungkin itulah mengapa banyak pelacur yang tidak menyadari kesalahan mereka, karena mereka merasa seperti kupu-kupu yang terbang di malam hari, terbang dari bunga yang satu ke bunga yang lain. Dan mungkin itulah kenapa sampai saat ini masih banyak koruptor, karena bagi mereka itu adalah sebuah prestasi dalam sejarah hidup mereka. Namun maling, apa yang bisa dibanggakan dari maling? Maling menandakan kalau manusia itu tidak mahir dalam ilmu ekonomi, mereka gagal, tidak memiliki pilihan, dan menjadi sampah di dunia ini.