Visi "Pendidikan Bermutu untuk Semua" yang diusung Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu'ti, adalah semangat yang harus kita apresiasi. Dalam talkshow yang tayang di TV One, Prof. Mu'ti menguraikan strategi besar untuk mewujudkan pemerataan pendidikan, mulai dari kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi hingga peningkatan kesejahteraan guru, pendidikan nilai dan perbaikan sarana-prasarana satuan pendidikan. Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi tantangan kompleks yang memerlukan pendekatan lintas sektor dan kolaborasi dengan masyarakat.
Zonasi: Antara Pemerataan dan Realita Lapangan
Sistem zonasi yang diterapkan pada PPDB bertujuan menghapus segregasi antara "sekolah elit" dan "sekolah alit". Dengan empat jalur utama --- domisili, prestasi, afirmasi, dan mutasi --- zonasi diharapkan menciptakan inklusi sosial serta kesempatan pendidikan bermutu untuk semua. Namun, implementasi di lapangan belum sepenuhnya ideal.
Kekhawatiran tentang manipulasi data domisili dan kurangnya panduan penilaian prestasi menjadi sorotan utama. Prof. Mu'ti sendiri mengakui, "Prestasi apa yang menjadi prioritas belum ada panduan yang memudahkan penyelenggara pendidikan," katanya. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh atas pelaksanaan zonasi harus terus dilakukan, termasuk belajar dari praktik baik beberapa daerah/dinas.
Guru: Pilar Utama Sebagai Pembimbing dan Konselor
Guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan. Selain sebagai pengajar, guru juga memikul tanggung jawab sebagai pembimbing dan konselor bagi murid. Prof. Mu'ti menekankan pentingnya bimbingan konseling dalam tugas guru untuk membantu siswa menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kesulitan belajar hingga masalah psikologis.
"Guru tidak hanya bertugas mengajar tetapi juga membimbing," jelasnya. Oleh karena itu, pelatihan Pendidikan Profesi Guru (PPG) kini mencakup materi tambahan tentang bimbingan konseling dan pendidikan nilai. Fungsi ini mencakup pendampingan murid yang sedang mengalami galau psikologis, mengembangkan bakat dan minat, hingga menanamkan nilai moral dalam keseharian siswa. Dalam konteks ini, bimbingan yang diberikan guru diharapkan tidak bersifat menghukum, tetapi mendukung dan mengarahkan.
Namun, tanggung jawab ini memerlukan penguatan kapasitas guru melalui pelatihan berkelanjutan. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan program pengembangan profesional lainnya harus terus dihidupkan untuk meningkatkan kompetensi guru dalam mendampingi siswa. Bahkan, waktu guru yang sebelumnya hanya dihitung dalam jam mengajar kini mencakup kegiatan pembimbingan murid.
Kesempatan untuk Difabel: Pendidikan Inklusif yang Bermakna
Kesetaraan pendidikan juga harus dirasakan oleh anak-anak difabel. Prof. Mu'ti menggunakan istilah "difabel" --- differently abled --- untuk menekankan bahwa setiap anak memiliki potensi unik. Salah satu inisiatif yang diusung adalah program Desa Inklusi, di mana pendidikan diselenggarakan langsung di komunitas untuk menjangkau anak-anak difabel yang sulit mengakses layanan pendidikan formal.
Selain itu, Kementerian Pendidikan berencana mendirikan rumah belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sebagai solusi bagi mereka yang belum terjangkau pendidikan formal. "Kami mendekati mereka dengan model jemput bola, melibatkan relawan pendidikan hingga tokoh masyarakat," ungkapnya.
Inisiatif ini perlu didukung oleh kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan organisasi masyarakat sipil dan lembaga filantropi, untuk menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung pendidikan inklusif. Harapannya, anak-anak difabel dapat belajar di lingkungan yang ramah dan sesuai dengan kebutuhan mereka tanpa stigma.
Sarana-Prasarana: Menuju Lingkungan Belajar yang Layak
Kondisi infrastruktur pendidikan menjadi fokus lain. Pada 2025, pemerintah merencanakan renovasi lebih dari 10.000 satuan pendidikan dengan anggaran mencapai Rp17 triliun. Renovasi ini meliputi sekolah-sekolah di daerah terpencil yang selama ini minim akses. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kualitas pendidikan tidak tergantung pada lokasi geografis.
Pendidikan Nilai: Fondasi Karakter Bangsa
Prof. Mu'ti memperkenalkan konsep "pelajaran bermuatan nilai" untuk memperkuat karakter siswa. Semua mata pelajaran, termasuk matematika dan akuntansi, diharapkan menyisipkan nilai moral, kejujuran, dan budi pekerti. Upaya ini dilengkapi dengan penambahan materi bimbingan konseling pada pelatihan guru, yang bertujuan mendampingi siswa dalam mengatasi persoalan psikologis hingga pengembangan bakat.
Refleksi dan Harapan
Visi besar pendidikan bermutu untuk semua tidak hanya membutuhkan kebijakan yang baik, tetapi juga implementasi yang konsisten dan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Guru sebagai pembimbing, kesempatan pendidikan untuk difabel, serta peningkatan sarana pendidikan menjadi tiga pilar penting yang harus diperhatikan. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan menjadi kunci utama untuk menjawab tantangan ini. Dengan demikian, cita-cita mencetak generasi emas Indonesia 2045 bukan sekadar utopia, tetapi dapat diwujudkan dengan kerja keras bersama.
Mari kita kawal bersama kebijakan ini agar pendidikan benar-benar menjadi hak yang setara untuk semua anak Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H