Inovasi dalam pendidikan adalah isu yang selalu aktual. Di satu sisi, ketika seorang menteri pendidikan yang baru dilantik, maka pikiran pertama mereka adalah bagaimana melakukan inovasi dan atau perbaikan sistem pendidikan. Di sisi lain, para pemangku kepentingan, terutama pendidik, pada umumnya sangat enggan untuk berinovasi, dan bahkan apabila dimungkinkan mereka bisa menolak perubahan atau inovasi yang dilakukan.
Demikian pula Menteri Pendidikan saat ini, Nadiem Makarim atau sering dipanggil Mas Menteri. Di tahun ke tiga kepemimpinannya, Mas Menteri, di tengah dera pandemi, telah melakukan serial inovasi di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan yang pada 1 April yang lalu telah meluncurkan Merdeka Belajar Episode ke 19, Rapor Pendidikan Indonesia. Walau tetap saja banyak kritik, tetapi inovasi yang dilakukan kali ini sungguh luar biasa.
Memang bahwa episode-episode yang diluncurkan tidak sepenuhnya inovasi baru, namun beberapa episode merupakan upaya penyempurnaan atau peningkatan program yang sudah ada walaupun (direncanakan atau tidak), juga mengubah hal prinsip yaitu misi dan spirit dari program, misalnya Episode ke 9: KIP Kuliah Merdeka. KIP Kuliah pada awalnya adalah program Bidikmisi yang diluncurkan pada tahun 2009, Era Menteri M Nuh. Misi dan spirit Bidikmisi saat awal peluncuran adalah mengajak semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan. Perguruan Tinggi diajak untuk lebih peduli dengan melaksanakan CSR (Campus Social Responsibility) bersama Pemerintah (Pusat) untuk mendanai program Bidikmisi, termasuk Pemerintah Daerah dan DUDIKA. Sehingga memang biaya pendidikan maupun biaya hidup yang diberikan merupakan subsidi. Ini juga sesuai dengan esensi Bantuan Biaya Pendidikan (BBP) sebagaimana amanah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Di dalam Undang-undang Pendidikan Tinggi, Beasiswa dan BBP merupakan program yang berbeda. Beasiswa dapat diakses oleh semua warga negara dan mengedepankan prestasi akademik. Namun BPP hanya dapat di akses oleh mereka yang tidak mampu secara ekonomi dan tetap mempertimbangkan prestasi akademik. Karena biaya pendidikan diubah menjadi "at-cost", otomatis program ini tidak lagi CSR tetapi "project". Karena itu misi dan spiritnya dikatakan berbeda. Yang semula pendekatan "emosi" atau "keterlibatan dan peduli liyan. melu handarbeni", berubah menjadi pendekatan "rasio", project, pragmatis.
Sudah barang tentu yang paling "terdampak" oleh inovasi atau episode-episode ini adalah para pendidik, yaitu guru dan dosen, selain peserta didik. Pendidik merasa terlalu banyak perubahan yang dilakukan bahkan dipaksakan dan mereka harus melaksanakan atau menerapkan perubahan itu. Ini berarti tugas tambahan yang tidak ringan, terutama bagi yang terbiasa dengan kemapanan. Kementerian memahami itu, dan oleh karenanya kementerian terus mengawal dan mendampingi proses perubahan ini.
Memang bahwa Pendidikan atau sistem pendidikan kita masih menghadapi masalah yang serius dan deraan pandemi menjadikannya lebih serius. Bila kondisi ini tidak segera diperbaiki, dapat mengakibatkan risiko yang juga serius tidak hanya untuk pendidikan itu sendiri tetapi juga pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bahkan nasib bangsa ini. Jumlah pengangguran tidak berkurang dan mutu lulusan tidak pernah siap diterima di dunia kerja atau berwirausaha.
Sejak reformasi sebenarnya kondisi pendidikan kita telah berkembang pesat. Akses atau partisipasi pendidikan telah menunjukkan kenaikan yang signifikan terutama melalui program KIP>Bidikmisi dan untuk warga miskin, pendidikan inklusif, pembukaan program studi baru dan sebagainya. Akses untuk jenjang dasar dan menengah memang harus terus diupayakan, namun untuk jenjang pendidikan tinggi (34%) mestinya sudah cukup dan fokus kepada mutu.
Akreditasi satuan pendidikan di semua jenjang dan jenis pendidikan meningkat walaupun capaian literasi, numerasi dan sains masih stagnan.
Masalah mutu dan relevansi dalam pendidikan akan terus menjadi masalah karena pada hakikatnya mutu dan relevansi lebih dinamis. Untuk dapat melihat hasil peningkatan mutu, peningkatannya harus melampaui tuntutan mutu itu sendiri. Harus melakukan akselerasi yang berarti pengerahan sumber daya yang luar biasa.
Pemerintah memang telah banyak berinvestasi dan telah menghadirkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dan perbaikan lainnya di sekolah. Namun, belum dapat berhasil meningkatkan capaian skor literasi, numerasi dan sains secara signifikan. Karena itu perbaikan dan atau inovasi di bidang ini harus terus diupayakan. Berbagai asesmen dan perbaikan kurikulum termasuk strategi dan metode pembelajaran, peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru, harus terus ditingkatkan secara telaten dan konsisten.